Cerpen Putu Wijaya "dokter"

Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai dengan ethik kedokteran. Tetapi di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”
“Terlambat bagaimana?!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di bawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggungjawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!”
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
“Bagaimana?”
“Tenang!”
“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!”
“Saya sudah berusaha..”
“Dan hasilnya?”
“Lumayan.”
“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”
Mereka tercengang.
“Jadi dia hidup lagi?”
“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”
“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia ke mari!”
“Saya sudah mencoba.”
“Terus hasilnya?”
“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
“Ayo!”
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa..
“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”
“Dan mengapa bau?”
“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”
“Tidur?”
“Ya.. Tidur untuk selamanya.”
“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”
“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji itu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali, puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari Puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kaca-mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
“Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke Puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kota sayalah yang paling benar.”
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah terlanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi “orang bodoh” untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas
“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas., “kata putra kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa ke mari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!”
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang Dokter!”
“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin.”
“Tapi kau Dokter kan?!”
“Betul.”
“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo Dokter!”
Saya tidak sanggup menjawab.
“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong Dokter!”
“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku mati?”
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.
Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah darimana datangnya keberanian, saya berbisik.
“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke Puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau pun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu.

Cerpen Putu Wijaya "DOR"


SEBUAH BANGKU. BEBERAPA ORANG TUA DUDUK-DUDUK DIBANGKU ITU BERJEMUR SEPERTI MENUNGGU GILIRANNYA UNTUK MATI. KEDEKAT ORANG–ORANG ITU, MUNCUL SESEORANG MEMEGANG BUNTALAN PANJANG. IA MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG TUA ITU. ORANG-ORANG TUA ITU MENYISIHKAN SEDIKIT TEMPAT. ORANG ITU LALU DUDUK. IA MELETAKKAN DI PANGGKUANNYA BARANG YANG TERBALUT KORAN ITU. IA NAMPAK SAKIT-SAKITAN TAPI SEDANG BERSIAP UNTUK MELAKSANKAN TUGASNYA. KEMUDIAN IA MULAI BICARA KEPADA ORANG-ORANG TUA ITU, SEAKAN – AKAN ITU SUDAH SERING DILAKUKANNYA. ORANG –ORANG TUA ITU MULA-MULA ACUH TAK ACUH DAN DINGIN TETAPI LAMA-LAMA PENUH PERHATIAN MENDENGARKAN.

Seperti setiap orang miskin yang lain aku punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung Karno, aku gantungkan cita-cita setinggi langit. Aku panggil dalam mimpi. Aku gunjingkan setiap kali. Kemudian aku kejar. Aku kejar sampai babak-belur, jatuh bangun, nafasku sering tercekik. Tapi apa lacur, tanganku tidak memegang apa-apa. Bahkan menyentunya pun tak sempat.

Seperti kebanyakan orang lemah yang lain, aku bingung ketika sampai dipinggir kali besar yang deras dan terjal, karena tak ada jembatan. Apa daya tidak ada alat penyeberangan. Sementara aku tak punya keberanian untuk meloncat untung-untungan karena tenagaku terbatas, aku tidak percaya aku mampu sebab aku tidak bisa berenang.
Seperti puluhan juta orang lain yang gagal, aku membuat keputusan yang tidak aku sukai. Aku angkat tangan dan melambai kepada cita-cita yang tak mampu aku wujudkan itu. Air mataku lepas dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kakiku luka-luka. Di dalam bathinku ada borok yang membuat aku amat malu.

Seperti orang-orang kalah yang lain, aku berbalik. Pulang kembali kerumah tapi dirumah rasanya amat kosong, miskin dan hina. Setiap kali mata aku tutupkan, hatiku hancur. Hidup sudah berakhir, tapi aku mesti melanjutkannya. Dalam keadaan yang tak berdaya itu, aku jadi menyerah. Pasrah karena tidak ada lagi jalan lain. seperti sepotong pecahan kayu aku ikuti aliran sungai yang membawaku ke tepi laut.

Aku membunuh cita-citaku lalu menjadi satpam dalam pabrik-pabrik milik seorang bangsat besar. Gajiku besar. Setiap hari aku memakai pakaian seragam. Membawa tugas-tugas yang tidak boleh dipertanyakan. Melaksanakan seluruh kebijaksanaan yang sudah digariskan. Menjadi seekor anjing pengawal yang harus menggonggong apa saja yang merongrong. Dan memegang sebuah senjata, untuk mengamankan seeluruh tugas-tugas tersebut. Aku diperintahkan menembak, membunuh sungguh-sungguh bukan sekedar menakut-nakuti.

Ketika anakku lahir, cita-cita yang sudah aku kubur itu kembali lagi. Kata orang, anak menjadi perpanjangan usia kita. Dengan anak, kita memiliki sebuah galah, untuk menjangkau buah ranum. Dengan anak ditangan aku tumbuh lagi. Nyawaku ditarik untuk melindungi, membesarkannya dan menjadikannya manusia berguna. Cita-cita yang menggoda kembali itu tidak kubiarkan menjamahku. Aku persilahkan dia datang untuk anakku. Anak itu aku persiapkan baik-baik. Makanannya diatur. Pendidikannya diluruskan. Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan. Tidak sebagaimana orang tuaku dulu, yang tidak membantu mempersiapkanku mencapai cita-cita karena tidak mampu. Aku latih anakku, bukan saja untuk menggantunngkan cita-citanya lebih tinggi dari langit, teapi juga untuk meloncat, menerkam dan merebut cita-cita itu. Ia harus garang melompati sungai yang tak berhasil kusebrangi. Dia harus menjadi manusia yang sukses

Aku tuturkan kepadanya dongeng –dongeng kejayaan orang besar. Baaimana Hannibal menaklukkan pucak Alpen. Bagaimana gajah mada mempersatukan nusantara. Bagaimana Oom Lim Sioe Liong bisa berhasil menjadi orang kaya raya. Bagaimana pak habibie menjadi orang terkemuka dengan puluhan jabatan. Bagaimana pak Harmoko menjabat menteri penerangan sampai tiga kali sekaligus merangkap ketua umum Golkar.

Tapi tidak hanya itu. Aku juga berterus-terang menceritakan kegagalan-kegagalanku sendiri. Kenapa aku sampai tumbang, padahal cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.
Setiap hari aku ajarkan kepadanya bahwa kerja, kerja, kerja adalah nomor satu. Bahwa belajar, belajar, belajar, juga nomor satu. Semua yang bagus-bagus nomor satu. Meskipun nasib juga nomor satu. Anak itu tidak boleh bernasib seperti aku, bapaknya. Dia harus menembus nasib. Dia harus melesat meninggalkan rumah kami yang kumuh dan hina. Dia harus menjadi seorang pahlawan.

Setiap malam kalau sudah sepi dan anak itu tidur pulas, aku dan istriku memandanginya dengan takjub. Memang benar, anak itu adalah harta karun. Ia telah membuat aku bersemangat lagi bekerja meskipun usia sudah menjadi manula. Dia seperti matahari di dalam rumah kami.

Barangkali sebenarnya anak itu tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti aku, bapaknya. Ia mungkin hanya tidak sanggup untuk menanggung semua mimpi-mimpi yang terlalu besar itu untuk menjadi kenyataan. Karena ia sendiri memiliki mimpi. Dan mungkin sekali mimpinya itu amat berbeda bahkan bertentangan dengan mimpiku. Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah menanyakannya. Ia juga tidak pernah mengatakannya. Ia hanya memandang kepada aku, dengan mata kosong, acuh-tak acuh dan mungkin sekali benci atau jijik.

Ketika ia rontok dari sekolah, seharusnya aku mulai sadar bahwa ia bukan seorang pahlawan. Tetapi waktu itu, aku lebih banyak menyalahkan guru. Aku anggap bukan anak itu yang bodoh, tetapi gurunya yang malas. Sistem pendidikannya yang buruk sehingga sehingga membuat seorang jenius sudah mati kutu. Lalu aku datangi sekolah itu. Guru-gurunya aku sumpahi habis-habisan. Demi keselamatan anakku, aku cabut dia dari sekolah itu lalu aku didik sendiri di rumah.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, payah. Jabatanku yang terus bertambah, tanggungjawabku yang makin njelimet, waktuku yang selalu habis dalam tugas, membuatku juga jadi orang yang tidak mampu. Meskipun aku bisa membebaskan anak itu dari sekolah, aku tidak berhasil mengisinya dengan pengetahuan. Aku terlalu sibuk. Akhirnya anak itu dididik oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawanya sendiri.
Aku masih ingat sekali, seperti baru kemaren sore, pada suatu pagi, aku dijemput ke tempat pekerjaan oleh istriku. Ia menangis tersedu-sedu. Lalu melaporkan bahwa anak itu, sudah menjadi haram jadah. Ia berguru kepada bandit-bandit mantan penghuni penjara Nusa Kambangan. Ia menjadi bandit bandar obat terlarang. Tak segan-segan merampok, membunuh, dan memperkosa.

Aku langsung diam disarangnya. Aku menceritakan kepadanya bahwa tidak semua pekerjaan adalah pekerjaan, pekerjaan yang membawa keruntuhan moral, kebejatan akhlak, dan kematian orang lain, adalah kejahatan. Dan semua bentuk kejahatan bukanlah pekerjaan, tetapi dosa.
Anak itu hanya tertawa. Ia sudah sakit. Jiwanya sudah terganggu. Semakin diberi nasihat, ia semakin sesat.

Aku marah lagi kepada guru-guru. Kepada sekolah yang sudah tak berhasil mendidik anakku. Aku datangi sekolah itu dan menunjukan kepada semua orang, bahwa itulah akibat dari satu sistem pendidikan yang ngawur. Meskipun diam-diam didalam hati, aku membantah sendiri apa yang sudah aku katakan. Karena seandainya aku tidak memasukan anakku kesekolah itu, mungkin ia sudah lebih awal bejat.

Aku frustasi. Kini anakku bukan lagi harapan, tetapi hukuman. Aku sudah dikhianati oleh cita-citaku sendiri. Aku dimakan dari dalam sedikit demi sedikit. Aku tidak boleh membiarkan semua itu. Aku tidak boleh melepaskan cita-cita yang tiba-tiba menghampiri sendiri setelah lenyap. Aku tidak boleh membiarkan anak itu menjadi kecoa, karena aku bapaknya. Sebagai orang tua aku bertanggungjawab untuk menjadikannya pahlawan. Aku harus menjadi juru selamatnya.

Aku ingin kamu menjadi orang bukan binatang. Jadilah sekali ini saja seorang yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Sesudah itu, terserah apa yang ingin kamu lakukan, karena hidupmu adalah milikmu. Aku tidak minta kamu kembali kesekolah. Aku tidak minta kamu pergi ke psikiater lagi. Aku tidak akan minta kamu menuruti semua kata pak guru. Aku hanya minta besok, kamu datang kedepan pabrik tempat untuk kerja. Berdiri didepan kantor bersama buruh-buruh yang lain. besok akan terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran, untuk menentang upah dibawah upah minimum yang selama ini sudah dipraktekan perusahaan.

Datanglah kesana. Ikutlah bersorak bersama orang-orang itu, untuk menuntut kebijaksanaan baru. Teriakan apa saja yang mereka teriakan, walaupun kamu tidak mengerti. Serukan keadialan bersama-sama mereka disitu, lebih keras dari mereka, walaupun kamu tidak tahu apa itu keadilan. Tunjukan kepada orang lain, bahwa kamu itu berguna. Kamu mampu menentang bapakmu. Sekali ini saja supaya aku bangga.

Esok paginya ia muncul bersama-sama orang-orang yang berdemonstrasi untuk menegakan hak-hak azasi itu. Sebenarnya bukan untuk memenuhi permintaanku, tetapi justru untuk menghinaku. Aku lihat dari jendela pabrik, ia berdiri didekat tukang rokok tersenyum dan tertawa-tawa. Ditangannya lintingan ganja yang berkali-kali disedotnya dengan nikmat. Aku yakin ia sudah dalam keadaan teler berat. Sementara disekitarnya para buruh pabrik yang sedang memperjuangkan hidup matinya dengan beringas mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang memaki-maki kesewenang-wenangan perusahaan dan pemilik pabrik yang sudah menginjak-injak nasib mereka puluhan tahun. Dengan garang mereka menentang para petugas yang menghadang dengan senjata terhunus. Sekali-sekali anakku mengangkat tangan dan meneriakan kata-kata kotor.

TERDENGAR SORAK SORAI ORANG-ORANG YANG BERDEMONSTRASI. GEGAP GEMPITA DENGAN YEL-YEL YANG DAHSYAT.
LELAKI TUA ITU MENUNGGU SAMPAI KERAS BENAR. KEMUDIAN PERLAHAN-LAHAN IA MEMBUKA BUNGKUSAN YANG DIBAWANYA. TERNYATA SEBUAH SENAPAN. IA MEMASUKAN PELURU KEMUDIAN MEMANDANG. SKALI LAGI BERDOA.

Ya Tuhan, aku minta ampun kepadamu Tuhan. Aku lakukan semua ini untuk kebaikannya. Aku terima seluruh dosa-dosaku untuk semua ini. Tetapi izinkanlah aku menjadikan anak itu seorang pahlawan.
YEL ITU SEMAKIN GEGAP GEMPITA. KEMUDIAN IA MEMBIDIK. SETELAH TEPAT BENAR IA MELEPASKAN TEMBAKAN. DOR. MENDADAK SEMUANYA SEPI. IA MEMBUNGKUS SENJATANYA LAGI, LALU BERDIRI. SEMUA BENGONG MENATAPNYA. IA MENARIK NAFAS. SEBELUM PERGI, IA BERBISIK.

Tembakan itu luput, melempas membunuh tukang rokok. Karena itu aku tidak berhasil menjadi pahlawan seperti yang diharapkannya.

ORANG ITU PERGI. ORANG-ORANG TUA ITU MENOLEH SATU SAMA LAIN, SEPERTI MENCOCOKAN PERASAANNYA, TETAPI TIDAK MENGATAKAN APA-APA, KEMUDIAN MEREKA MEMPERHATIKAN ORANG ITU MENJAUH. DIANTARANYA ADA YANG MELAMBAI. ADA JUGA YANG MENANGIS, SEAKAN-AKAN BERCERITA TENTANG USAHANYA YANG GAGAL.

Jakarta, 17-7-1995    

Cerpen Putu Wijaya "mmk"

SEORANG anak bertanya kepada neneknya:
"Nenek,... itu apa?"
Perempuan tua itu ternganga. Sebelum dia sempat membuka mulut, pertanyaan itu berkembang.
"Nenek punya... tidak?"
Orang tua itu kontan shock. Tetapi cucunya terus juga bertanya.
"Sekarang Nenek punya berapa ...?"
Karena tak kuat menahan kekurangajaran itu, nenek itu langsung pergi meninggalkan cucunya. Ia mengungsi ke rumah tetangga.
Ketika anak dan menantunya pulang, ia langsung melapor sambil menangis.
"Anakmu kurang ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas, dan narkoba sudah membuat dia bejat. Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit! Mau jadi apa dia nanti kalau sudah besar? Setan?"
Menantu nenek, ibu anak itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu langsung diberinya hukuman.
"Kamu sudah kurang ajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi, sampai moral kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang tua itu adalah asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh membuat orang tua marah. Sekali lagi kamu kurang ajar, ibu kirim kamu ke desa! Tidak usah membela diri!"
Anak itu tidak berani menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia menghampiri bapaknya, lalu kembali menanyakan
pertanyaan yang belum terjawab itu.
"Pak, -- itu apa?"
Bapak anak itu terkejut. Cangklong yang sedang diisapnya sampai terlepas. Tetapi ia mencoba tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:
"Rambut adalah mahkota semua manusia..... itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana kamu keluar dan ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian sakral. Karena itu kamu tidak  boleh mengutak-atik. Kamu harus menghormatinya. Dan,berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk dikupas tetapi dirasakan. Paham?!"
Anak itu tidak paham. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia mendekati ibunya yang sedang menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.
"Tidak bisa!"
Anak itu tertegun.
"Aku tidak minta duit. Aku hanya mau tanya, apakah – ibu besar? Sebab, kalau tidak besar bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa meter?"
Merah padam muka perempuan itu.  Sedangkan tamunya, ibu-ibu pejabat tak bisa menahan diri lalu tertawa sampai terkencing-kencing."
Anakmu sakit jiwa, karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk
bekerja dan menganggap mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya sekarang!"
kata ibu anak itu menyalahkan suaminya.
"Sekarang sebelum terlambat, lebih baik kamu bawa dia ke dokter jiwa.
Kalau tidak akan jadi apa anak ini! Akan jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya sudah kurang ajar dan krisis moral?"
Bapak anak itu tidak setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan lain. Ia membawa anak itu ke kebun binatang.
"Kamu bertanya apa itu mmk?"
bisiknya kepada anaknya.
"Nah, itu dia yang namanya mmk!"
Bapak anak itu menunjuk kepada binatang-binatang yang ada di depannya.
Ada kuda, badak, harimau, gajah, monyet."
"Itu yang namanya mmk. Mengerti?!"
Anak itu terdiam. Tetapi bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam perjalanan pulang ia kembali  bertanya.
"Apakah mmk itu manis sehingga sering dijilat-jilat?"
"Bangsat!"
teriak bapak anak itu di dalam hati.Ia membatalkan pulang, langsung membawa anaknya ke dokter jiwa.
"Dokter, anak saya ini sudah bejat. Tolongdiperiksa apakah dia sudah d apat gangguan jiwa. Sebabsegalanya sudah kami penuhi dengan  berkecukupan. Sandang, pangan, bahkan sekolah yang terbaik dan
termahal kami berikan. Mengapa dia jadi tumbuh seperti  setan begini?"
Dokter jiwa itu lalu memanggil anak itu masuk ke dalam kamar periksa.
Dua jam kemudian dia keluar.
"Bagaimana Dok?"
"Saya kira anak Bapak sehat walafiat."
"Maksud saya jiwa dan moralnya?!"
"Ya, bagus. Saya hanya ada nasihat kecil."
"Apa Dok?"
"Semua anak sampai usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan objektif apa yang ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari lingkungan dan orang tuanya. Jadi.... "
"Jadi apa Dok?"
"Anak itu masih punya ibu?"
"Ada di rumah, kenapa Dok?"
"O, bagus kalau begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada anak itu, saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu. Makin cepat makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."
Kontan bapak anak itu pergi.
"Dokter gila!"
umpatnya sambil membawa anaknya pulang.
"Dasar mata duitan, anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan para elite politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh sebagai penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"
Suhu politik memanas. Para elite politik berperang. Dolar melambung tinggi. Persoalan itu untuk sementara dibekukan. Tapi, beku tentu saja tidak berarti sudah berakhir. Pertanyaan itu masih terus berkecamuk di kepala anak itu.
Di sekolah, menjelang peringatan Hari Proklamasi ke-56, ketika guru sedang menceritakan tentang hakikat kemerdekaan, anak itu terus dikejar-kejar oleh pertanyaan tersebut.
"Kemerdekaan adalah sikap jiwa,"
kata ibu guru menerangkan kepada murid-muridnya.
"Bila kemerdekaan kita diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
jangan dikira itu terjadi begitu saja. Cita-cita kemerdekaan sudah berlangsung puluhan tahun. Secara sporadis meledak di sana-sini yang dikategorikan sebagai pemberontakan oleh kolonial. Akhirnya mendapat
kesimpulan pada tahun 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, akhirnya mulai mendapatkan perumusan pada 1928, pada saat ada ikrar Sumpah Pemuda. Jadi kemerdekaan itu anak-anak, bukan hanya sebuah teriakan kebebasan, tetapi sebuah proses penyadaran tentang kemandirian. Dengan merdeka berarti nasib kita terletak di tangan kita sendiri. Dengan merdeka pada 17 Agustus 1945, tidak berarti kita jadi langsung kaya raya dan bahagia. Dengan merdeka kita justru menjadi melihat kemiskinan dan keterbelakangan kita. Kita melihat tanggung jawab kita. Dengan merdeka kita terikat oleh berbagai aturan yang kita buat sendiri untuk membatasi kemerdekaan kita agar bisa hidup bersama-sama. Merdeka adalah mendisiplinkan diri kita sendiri supaya bisa bekerja dan bersaing. Kalau tidak ada batasan-batasan, negeri ini akan jadi rimba dan memberlakukan hukum rimba, siapa kuat dia yang kuasa. Siapa yang kuasa dia yang makan. Jadi, kemerdekaan bukanlah kesempatan untuk berbuat sewenang-wenang. Kemerdekaan adalah pengorbanan karena itu merupakan penyadaran kepada aturan-aturan dan ketidakbebasan, yang kita sepakati dengan rela."
Bu guru selesai. Ia memandang seluruh kelas.
"Ada yang belum jelas? Siapa yang mau bertanya?"
Anak itu langsung mengacungkan tangannya.
"Ya kamu. Apa yang belum jelas?"
"Saya mau tanya, Bu."
"Ya boleh. Menanyakan apa?"
"Mmk itu apa?"
Bu guru terhenyak. Seluruh kelas yang semula tidur tiba-tiba terbangun. Kemudian terdengar suara riuh rendah oleh  ketawa. Kelas berubah menjadi pasar.Bu guru mengetokngetokkan penghapus papan tulis ke mejanya dengan keras.
"Tenang!!!"
Anak-anak langsung mengunci mulutnya. Bu guru kemudian bertanya lagi.
"Apa?"
"Saya mau tanya, mmk itu apa??"
Mata bu guru yang cantik itu terbelalak. Seluruh kelas yangtadinya cekakakan, sekarang tiba-tiba tegang. Bu guru menghampiri anak yang bertanya itu. Ia memandang tepat ke arah matanya. Anak itu gugup lalu menundukkan mukanya.
"Ini pelajaran sejarah kemerdekaan dan kamu bertanya tentang...."
"Mmk."
Seluruh keras bertambah tegang.
Terdengar bisik-bisik. Bu guru cepat melayangkan matanya ke seluruh keras sambil melotot. Semua murid menunduk menyembunyikan dirinya. Tak seorang pun kelihatan mau hadir. Hanya anak itu yang masih mengangkat kepalanya.Bu guru menghampiri anak itu, lalu menatap tajam seperti menusuk jiwanya.
"Jadi itu yang buat kamu belum jelas?"
"Ya."
"Kamu bertanya karena kamu tidak tahu atau?"
"Karena saya bingung."
"Kamu bingung karena kamu ingin tahu?"
"Karena jawabannya tidak tegas sehingga tidak jelas."
Pensil ditangan bu guru jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh
anak-anak di dalam kelas, berdiri, menjulurkan kepalanyadan melihat apa yang jatuh. Tiba-tiba bu guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang sampai ke bawah  ia telanjang bulat.
"Mmk itu ini!"
katanya dengan tegas sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya. Seluruh kelas meledak. Anak-anak perempuan menjerit dan menangis. Yang laki-laki meloncat, lari ketakutan keluar kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti disiram air panas. Seluruh tubuhnya tegang dan kemudian basah. Peristiwa itu dicatat sekolah sebagai huru-hara yang memalukan. Ibu guru yang cantik itu langsung dipanggil oleh Kepala Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes. Mereka menuntut supaya bu guru itu dipecat. Dan malammalam, rumah bu guru itu berantakan karena dilempari batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman mengerikan menghujani rumahnya. Akhirnya Bu Guru MMK itu dipecat. Tapi sebagian masyarakat, berdasarkan polling yang dilakukan oleh media massa, menganggap hukuman itu belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru yang bejat itu hengkang dari permukiman mereka. Dan, ketika yang bersangkutan akhirnya boyongan pindah ke kota lain, karena tidak  mau mengganggu ketenteraman, di luar kota mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa, dan kemudian dicampakkan ke tepi jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Di sebuah desa kecil yang terpencil dan sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak bernama. Anak yang bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di sampingnya, kedua orang tuanya berdiri menemani.
"Terima kasib Bu Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak bertanya lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk menjelaskan satu kata saja, diperlukan sebuah nyawa."
TAG

Cerpen Putu Wijaya "Roh"

Setiap kali ada yang berulang tahun, Roh selalu ingin meneteskan air mata. Diam-diam ia memalingkan mukanya di depan penggorengan dan menghapusnya dengan ujung kebaya. Kalau nyonya rumah memergokinya, ia selalu mengatakan matanya berair karena asap. Tetapi sekali ini, ketika cintanya baru saja ditepiskan oleh anak muda supir baru tuanya, ia tak bisa bertahan lagi. Sambil tetap memegang sendok penggoreng, ia memandang muka majikannya sambil sesegukan.
“Nasib orang rupayan memang tak sama Nyonya,” katanya, “tapi saya rasa kok saya sendiri berat amat harus ditanggung. Kadang-kadang saya tidak kuat menahan semua ini. Karena saya hanya perempuan, saya hanya bisa menangis saja Nyonya,”
Nyonya majikannya hanya tersenyum. Ia paham benar apa sebenarya yang terjadi. Ganjalan apa yang menggeletak di belakang duka itu. Sambil menyembunyikan perasaan gelinya, ia membujuk.
“Kamu ini kenapa sih Roh? Mungkin kamu kangen kampung halamanmu. Atau barang kali ibumu sakit di sana? Kan udah lama juga tidak pulang. Kalau mau istirahat dulu, pergilah seminggu dua minggu, mungkin kamu sudah terlalu capek.”
Tangis Roh makin deras.
“Buat apa pulang Nyonya, di sini saja saya sudah seneng. Lebih seneng daripada di desa. Saya tidak capek kok. Hanya saya saja yang terlalu banyak pikiran.”
“Banyak pikiran apa Roh? Kamu ini ada-ada saja. Apa lagi yang harus dipikirkan.”
Yang sudah ya sudah. Apa-apa diterim. Kalau sudah dicoba tidak bisa buat apa-apa dipaksakan. Itu tidak baik. Hidup yang enak saja. Jangan ngoyo.”
“Betul juga Nyonya,” kata Roh sambil nydiduk isi penggorengan dan kemudian menghapus air matanya. “Saya tidak mau hidup ngoyo. Saya mau nrimo saja. Memang saya sudah nrimo, tapikan tidak bisa terus menerus. Tiap hari, ya katakanlah tiap bulan rasanya ada yang ulang tahun, saya jadi malu. Lho saya ini bagaimana. Saya ini kok tidak ikut serta seperti mereka”?
Nyonya terkejut.
“Ulang tahun? Ulang tahun apa?” tanyanya dengan herwan.
Roh kini memeras ingus yang ada di hidungnya. Sudah itu ia duduk sengaja menghentikan pekerjaannya sebentar. Rupanya ingin menunjukkan kesungguhan penderitaannya.
“Begini Nyonya. Coba saja putra-putra Nyonya, Nyonya sendiri selalu menasehati saya supaya menerima kenyataan. Lebih mudah hidup  dengan menerima kenyataan. Begitu Nyonya bukan? Barangkali Nyonya sudah lupa.”
“Tidak aku tidak ingat, memang harus begitu. Tapi tadi kau bilang ulang tahun. Maksudmu bagaimana?”
“Yak an, Nyonya coba saja putra-putri Nyonya, Nyonya sendiri, Tuan, tetangga-tetangga, si Dul supir tuan yang baru itu, sampai-sampai si iyem, Mariah, Tuminah, dan Kathijah ituloh pembantu baru Tuan Muin. Semuanya, semuanya saban-saban berulang tahun Nyonya. Saya sendiri, saya sendiri…?”
Mata Roh kembali meneteskan air. Nyonya majikannya terpesona. Ia memandangi pembantunya dengan terharu. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa telah menyayangkan yang bukan-bukan.
Jadi rupaynya” katanya dalam hati terharu.
“Jadi jelek-jelek saya begini, saya juga ingin sekali-sekali berulang tahun Nyonya,”  sambung Roh kemudian.
Nyonya itu mengangguk. Hampir saja ia tak bisa menahan air matanya sendiri. Tiba-tiba seperti hendak memberondong. Ia memalingkan muka lalu begitu saja teringat bahwa mungkin jutaan orang Indonesia lain yang tak pernah sempat merayakan ulang tahunnya. Setelah agak tenang ia memalingkan mukanya kepada Roh.
“Kapan ulangtahunmu Roh”
Pertanyaan itu seakan membanting Roh. Ia gemetar dan air matanya makin ramai keluar. Ambil sesegukan ia menjawab.
“itulah Nyonya, itulah-itulah, saya tidak tahu, itulah kenapa saya tidak tahu tidak ada yang memberi tahu kapan ulang tahun saya. Tapi mestinya saya punya juga.
“Umurmu berapa sekarang?”
Roh seakan tak mendengar kata-kata majikannya , ia terus mengeluh.
“Nyonya tahu sendiri saya lahir di des. Itulah Nyonya, itulah tidak enaknya punya orang tua buta huruf. Tidak ada yang mencatat kapan ulang tahun saya. Mereka hanya mengatakan saya lahir subuh, subuh, putri fajar katanya. Tapi kapan? Kapan? Saya sendiri mana tahu kapan, kalau orang tua saya tidak tahu? Mereka hanya bilang sesudah Jepang pergi. Kapan itu Jepang pergi Nyonya mestinya Nyonya dan Tuan mengerti. Mungkin Nyonya bisa tahu.”
Bersambung….
Pulang dari menghadiri peringatan Hari Kartini, anak saya terkejut. Ada surat di atas meja. Bukan soal suratnya, tetapi siapa yang mengirimkannya.

“Mia, ada surat dari Raden Ajeng Kartini buat kamu!” teriak istri saya dari dapur.
Sambil berusaha mencopot gelungan yang memberati kepalanya, anak saya merobek amplop surat.

“Baca keras-keras, Ibu ingin dengar isinya,” teriak istri saya lagi lebih keras.
Belum berhasil menarik sanggul yang seperti raket pingpong di belakang kepalanya, anak saya membuka kebaya dan jarik yang membuatnya terbuntal seperti lemper.

“Ayo baca!”
Mia mulai membaca sambil menyelonjorkan kakinya yang pegel karena memakai hak tinggi.

“Cucuku …”
“Yang keras!”
“Cucuku, setiap tahun kamu sudah mengenakan sanggul raksasa warisanku yang membuat lehermu jadi salah urat, karena keberatan. Badan kamu juga tersiksa karena lima jam dibuntal seperti bantal guling.”

Anak saya tertawa.
“Jangan ketawa! Apa katanya?” teriak istri saya sambil nongol dari dapur.

Mia melanjutkan membaca.
“Pakaianku kamu tiru. Lagu pujian kamu nyanyikan keras-keras. Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai Ibu kita Kartini, putri yang mulia, sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.” 

“Jangan nyanyi! Baca saja?!”
Anak saya berhenti menyanyi.
“Dia bilang kita hanya memuja-muja pakaiannya tetapi lupa kepada perjuangannya.”

“Baca!”
“Cucuku, jangan hanya ulang tahunku yang dirayakan, tapi praktekkan, wujudkan semua cita-citaku yang sampai sekarang belum tercapai. Aku memperjuangkan emansipasi untuk kaum wanita, supaya kaum perempuan tidak lagi dibelenggu gerak-gerikmu dengan alasan menjaga kepribadian, padahal sebetulnya itu adalah siasat laki-laki untuk membuat kita bodoh!”

“Betul!” teriak anak saya memberi komentar.
“Terus baca!”
“Tapi setelah lebih dari seratus tahun, ternyata cita-citaku masih tetap hanya impian. Apa kamu kira perempuan Indonesia sudah mendapat kebebasan? Sudah mendapatkan hak-hak yang setara dengan pria? Tidak cucuku!”

“Betul!” puji Mia dengan bersemangat.
“Jangan kasih komentar, baca saja!”
Tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, anak saya membaca dengan suara lebih keras.

“Jangan dikira kalau perempuan sudah boleh bersekolah sudah ada kebebasan. Belum. Jangan dikira kalau perempuan sudah bebas memilih jodoh, berarti sudah merdeka. Tidak! Jangan dikira karena kamu pakai celana panjang, sudah ada kesetaraan. Belum! Pakaian kamu beli mahal-mahal, tapi perut kamu umbar sampai udel kamu ke mana-mana berkeliaran. Itu pemborosan. Sekali bergaya satu minggu masuk angin…”

Anak saya berhenti membaca.
“Ayo, baca terus!”
Tapi anak saya tak mau meneruskan. Dia melipat surat itu dan mau melemparkannya ke meja. 

“Kenapa berhenti?”
Anak saya tidak menjawab. Istri saya keluar dari dapur. Mia melipat surat itu dan melemparkannya ke atas meja.

“Kok dilemparkan. Apa terusannya?”
“Tidak usah. Aku tahu siapa yang menulis surat itu!”
“Bukan soal siapa yang menulisnya, tapi apa isinya. Coba teruskan baca!”

Tapi Mia tidak mau meneruskan membaca. Mukanya kelihatan sebal. Ia merenggut-renggut sanggulnya yang tidak mau copot. Tetapi semakin ditarik, sanggul itu semakin membelit seperti jatuh cinta kepada kepalanya.

Istri saya meraih surat Kartini yang belum selesali dibaca itu. Lalu meneruskan membacanya.

“Kebebasan tidak berarti kebablasan,” baca istri saya dengan lantang. “Dengan kebebasan jangan dikira kamu bisa ongkang-ongkangan seenak perutmu. Bapak kamu kerja lembur, nyapu, ngepel, mencuci, membersihkan sepeda, dan nyemir sepatu kamu karena kamu tidak mau membantu! Itu bukan kebebasan tetapi kemalasan!”

“Sudah!” teriak anak saya sambil menutup telinga.
“Tapi ini betul Mia!”
“Kalau pun betul, tapi betul saja tidak cukup alasan untuk membuat aku mendengarnya!”

“Kenapa?”
“Sebab aku sudah tahu! Semua anak muda di mana-mana juga seperti itu! Itu biasa. Itu bukan kemalasan, tapi proses kami dalam mencari diri! Ibu harusnya mengerti sebab Ibu pernah muda! Jangan hanya bisa mencela! Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Anak saya meraih surat itu dan mau merobeknya. Tapi istri saya cepat merebut.

“Jangan!”
“Ngapain mendengarkan caci-maki begitu?!”
Istri saya tertawa.
“Kamu gitu saja sudah tersinggung! Bukan hanya kamu, Ibu juga menerima surat dari Raden Ajeng Kartini.”
Anak saya yang sudah melangkah hendak ke kamar tertegun.

“Ibu? Ibu juga menerima surat dari Kartini?”
“Ya.” 
“Mana?”
Istri saya menggosokkan tangannya yang berminyak ke kain, lalu merogoh ke balik kutang. Ia mengeluarkan sebuah amplop. Berbahagialah orang yang menulis surat kepada perempuan yang masih rajin memakai baju kutang. Maksud saya berbahagialah surat itu.

Istri saya menunjukkan nama pengirim surat itu di amplop. Kemudian ia merobek dan mengeluarkan isinya. Dengan memberikan jarak, sebab ia tidak membawa kaca mata, ia mulai membaca.

“Anakku, di zaman kamu hidup sekarang ini, nasib perempuan tidak seperti di abad ke sembilan belas. Sekarang perempuan tidak lagi hanya berkutat di dapur, di sumur, dan di kasur menemani suaminya tidur. Sekarang perempuan sudah boleh mengejar karir. Ada yang jadi wartawan, sopir taksi, kondektur, satpam, polisi, tentara, dokter, insinyur, menteri, bahkan ada yang sudah bisa jadi presiden.”
Istri saya berhenti membaca dan menoleh pada anak saya.

“Benar, kan?”
“Benar saja tidak cukup, tapi berapa orang bisa jadi menteri, berapa orang bisa jadi presiden, dan apa betul suaminya tidak ikut-ikutan mempergunakan kekuasan dari belakang?”

Istri saya pura-pura tidak mendengar lalu membaca dengan suara lebih keras.
“Tapi, lihat itu Kepala Desa yang menyombongkan dia berhasil mengumpulkan sembilan orang istri di bawah satu atap rumahnya dengan semuanya merasa bahagia. Lihat itu TKW yang sudah dipuja-puja sebagai pahlawan pengumpul devisa, ternyata pulang dari mancanegara babak-belur seperti Nirmala Bonar. Lihat, ada perempuan dipotong tangannya oleh suaminya gara-gara cemburu buta! Di mana letak kesetaraan?” 

“Betul, kan?” kata istri saya kembali menoleh anaknya.
Mia tak menjawab. Mukanya sinis.
“Sekarang yang ramai bukan perjuangan kesetaraan tetapi kesesatan dan keblingeran mengartikan kebebasan. Dulu, laki-laki yang banyak meninggalkan perempuan, sekarang perempuan sudah bisa menceraikan suami. Ada ibu tega meninggalkan anak-anaknya, bukan untuk mengejar kesempatan, tapi mengejar lelaki lain yang kantungnya lebih tebal. Ada ibu menjual anaknya sendiri sebagai pelacur….”

Suara istri saya semakin lirih.
“Lho, kenapa dibaca dalam hati!” protes anak saya.
“Mata Ibu berair karena tidak pakai kaca mata.”

Anak saya meraih surat yang ada di tangan ibunya lalu membaca keras-keras.
“Ada perempuan yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa mensyukuri hidup, mengejek keterbatasan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain. Suaminya kurang aktiflah, kurang bisa melobbylah, kurang lihai merebut kesempatanlah, kurang memuaskan dalam….”

“Itu tidak usah dibaca!”
“Tapi ini betul, Bu!”
“Ya, tapi itu kan oknum!”
Anak saya mau meneruskan membaca, tapi istri saya merebut surat itu.

“Katanya harus dibaca, yang penting kan isinya!”
“Tidak semuanya harus dibaca, Ibu sudah tahu isinya!”
“Belum tentu. Mungkin Ibu tidak berani menerima kenyataan!”

Istri saya kesal. Tapi anaknya tidak takut. Itu bedanya anak muda dengan orang tua. Anak muda meskipun malas, tetapi jujur. Orang tua terlalu banyak pertimbangan dan penakut.

Istri saya langsung membuka kembali surat yang semula sudah dilipat dan langsung membacanya. Mungkin ia tidak mau dituduh anaknya suka berpura-pura.

“Perjuangan perempuan yang sebenarnya adalah perjuangan untuk mencapai persamaan yang benar-benar harmonis, jadi bukan membalikkan posisi. Dulu perempuan dipoligami, sekarang perempuan jangan mau main poliandri! Musuh perempuan bukan hanya kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan yang salah kaprah!”
Istri saya menoleh.

“Kalau ini betul dan penting!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri!”
“Itu juga betul?”

“Nanti dulu, harus dilihat apa sambungannya!”
“Ya, sudah teruskan!”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri, sama dengan lelaki dan seperti juga manusia normal pada umumnya.”

Istri saya manggut-manggut.
“Kalau ini baru betul!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah dirinya sendiri ….”
“Itu sudah tadi.”

“Tapi ini diulangi sampai dua kali. Musuh perempuan adalah dirinya sendiri, karena perempuan memiliki kebiasaan untuk lebih peduli kepada perasaannya sendiri. Terutama para ibu.”

“Betul!”
“Jangan nyeletuk, ini belum selesai! Umumnya para ibu karena sangat khawatir pada keselamatan dan masa depan anak gadisnya, jadi bersikap over protektif alias kejam —ini harusnya bukan kejam tapi keras.” 

“Lho, surat orang kok dikoreksi?”
“…. sehingga gampang terjadi ketegangan, akibatnya sering bertengkar dengan anak perempuannya yang mulai besar dan juga suaminya dalam soal-soal kecil dan melupakan soal besar yang lebih penting dipikirkan!”

Anak saya tertawa.
“Diam!”
Mia mencoba menahan tertawanya tapi tidak bisa. Istri saya kesal dan memasukkan surat itu ke dalam amplop lalu membantingnya ke meja. 

“Ibu tahu apa tujuan surat ini!”
“Tapi kan belum selesai dibaca, bagaimana Ibu tahu?”
“Seorang Ibu tahu apa yang…” 
“Ibu belum tahu?!”

“Ya.”
“Jangan begitu, berilah kesempatan surat itu bicara.”
“Nggak!”
“Kalau Ibu tidak mau membaca, biar aku membacanya.”
“Nggak!”
“Dalam hati saja.”

“Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Istri saya marah sekali, lalu berbalik hendak kembali ke dapur. Setelah ibunya pergi anak saya menggapai surat itu dan mulai membacanya dalam hati. Beberapa saat kemudian dia tersenyum lalu tertawa.

“Apa katanya!” teriak istri saya yang nongol kembali dari dapur sambil membawa pisau.
Anak saya menoleh.

“Ibu mau dengar?”
“Nggak!”
“Tapi ini betul!”
Mata istri saya membelalak. Dia menghampiri anaknya dengan kesal dan membentak.

“Apa yang betul?”
Anak saya tidak takut. Dia tidak pernah takut kalau merasa betul. Itu perbedan antara anak-anak di masa saya muda dibandingkan anak-anak sekarang. Mereka mungkin bukan kurang ajar, tetapi lebih berani memperjuangkan kebenaran yang memang selalu menakutkan orang tua.

Tak peduli ibunya marah, anak saya membaca dengan suara keras.
“Anakku, aku mengajarkan kaum perempuan bukan hanya menyadari hak-haknya tetapi juga kewajibannya. Berani tidak berarti kurang ajar. Bebas tidak berarti lepas. Kalau perempuan ingin dihormati dan dihargai, perempuan juga harus menghormati dan menghargai. Kalau pendapatan suami kurang jangan diejek, kalau suaminya sakit jangan dituduh malas, kalau suaminya perlu kemanjaan harus diladeni, kalau suami benar dan istri salah, istri harus mau dan berani mengaku salah lalu minta maaf.”

“Betul!” kata anak saya dengan spontan sambil melirik ibunya.
Istri saya terkejut dan sekarang benar-benar marah.
“Apa yang kamu bilang betul!?”

Mata istri saya yang sudah lelah bekerja seharian kelihatan membara. Anaknya, anak saya, anak kami, keder juga.

“Apa yang kamu bilang betul, ah? Ibu kamu ini tidak bisa menghargai bapak kamu?”
“Bukan!”
“Kalau begitu, kenapa betul?”
“Tapi….”
“Tapi apa!”

“Memang betul.”
“Betul apa!!!!!!”
“Betul dugaanku.”
“Dugaan apa! Jangan belat-belit! Dugaan apa? Ibumu tidak bisa mensyukuri? Ah?!!!!”

Anak saya menarik napas.
“Dugaanku betul, yang menulis surat ini pasti bapak.”
Istri saya menurunkan pisau yang secara tak sengaja terangkat karena emosinya memuncak.

“Kalau itu, memang betul!”
“Tidak salah lagi, surat kaleng ini ditulis oleh bapak!”
“Pasti!”

Ibu dan anak klop. Keduanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari bapaknya. Waktu itu saya sedang ada di beranda membaca koran. Pikiran saya terjepit oleh kelakuan Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan yang sudah menjadi warga negara Amerika. Ia membantai 33 mahasiswa Institut Politeknik Virginia. Di antara korban ada Partahi Mamora Halomoan Lumbantotuan (35 tahun), mahasiswa Indonesia lulusan Unpar.

“Bapak curang!” teriak anak saya sambil menarik koran yang saya pakai menyembunyikan muka.
“Curang?”

“Ya! Apa Bapak pikir perempuan itu lemah? Perempuan itu emosional? Perempuan itu ringkih seperti barang pecah-belah. Bapak pikir kami tidak mampu menerima kritik? Itu tahayul lelaki!”
Anak saya dan istri saya seakan-akan hendak melumat saya.

“Siapa bilang kalian lemah?”
“Habis, ini! Kenapa harus menulis surat kaleng seperti ini?!” kata anak saya sambil menjulurkan kedua surat dari Kartini itu. “Kalau Bapak punya unek-unek kan bisa bicara blak-blakan kepada kami? Masak menulis surat kaleng! Ini namanya tidak kesatria. Katanya Bapak bekas pejuang!”

Saya mengamati kedua surat Kartini itu.
“Apa susahnya bicara terus-terang, kita kan serumah. Kita kan satu tim. Mengapa mesti pakai memukul lewat belakang begini? Ini tidak fair, Pak!”

Saya diam saja, sebab tidak ada gunanya menjawab karena keduanya mau menumpahkan unek-unek.
“Kami tidak pernah tidak menghargai Bapak. Bapak saja yang tidak bisa membaca bahasa kami. Kami selalu mengerti dan memperhatikan Bapak, menurut kemampuan kami tentunya. Jangan menuntut kami memanjakan Bapak seperti raja-raja, sebab kita kan orang miskin. Kita orang kebanyakan. Dan Bapak juga bukan raja, meskipun Bapak laki-laki! Kasihan Ibu disindir-sindir terus! Kasihan saya dong!”

Anak saya hampir menangis. Saya tak bisa lagi berdiam diri.
“Dengerin, bukan hanya kalian, Bapak juga sudah menerima surat dari Raden Ajeng Kartini,” kata saya sambil berdiri, lalu cepat pergi ke kamar.
Saya kembali dengan kacamata baca dan selembar kertas. Langsung saja saya geber dan baca di depan mereka.

“Ini surat Raden Ajeng Kartini kepada Bapak. Dengerin. Anakku, jangan terkejut menerima surat Ibu ini. Ibu terpaksa menulisnya karena Ibu melihat perjuangan menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan sudah semakin membingungkan. Kalian, para lelaki selalu ketakutan dan menuduh, mengira kalau perempuan diberikan kesetaraan, keleluasaan, dan kebebasan, perempuan akan mijah dan menjadi kuda liar. Itu kecurigaan yang dibuat oleh ego lelaki yang takut kehilangan kekuasaan. Mengapa kalau ada perempuan sesat satu saja, seluruh kaum perempuan dicap ternoda. Sedangkan laki-laki, sudah jelas terkutuk, masih diangkat jadi pejabat! Itu tidak adil. Yang bejat itu kan oknum. Jangan salah! Kalau kaum perempuan mendapat haknya sekarang itu bukan karena kebaikan hati lelaki atau jasa lelaki. Bukan. Jangan sampai lelaki menyangka sudah menyedekahkan kebebasan pada kami. Tidak. Itu milik kami kok yang sudah lama diperkosa dan kalian kuasai. Malah kalian lelaki harus malu besar sebab baru mengembalikannya kepada kami sekarang. Kewajiban seorang lelaki, menemani perempuan sebagai mitra di dalam keluarga yang setara hak, kecerdasan, kesempatan, di samping juga kewajiban-kewajiban. Menghargai perempuan tidak perlu dengan memuja, karena perempuan bukan berhala seperti patung yang minta disembah. Perempuan memiliki hati dan perasaan yang memerlukan pengertian. Bukan materi, bukan kehormatan, bukan kebanggaan, bukan kemenangan, apalagi kekuasaan yang akan membahagiakan perempuan, tetapi kepercayaan yang diberikan dengan ikhlas. Kewajiban lelaki adalah mencari, menemukan, dan membuat pintu hati perempuan terbuka. Dan itu hanya bisa dengan cara menghargai! Tapi sorry, kebanyakan lelaki belum lulus itu. Kelas satu saja belum naik-naik sampai tua bangka seperti sekarang!”

“Betul!” potong istri saya sembari tertawa dan bertepuk tangan. “Baguslah kalau Raden Ajeng Kartini menulis begitu kepada Bapak, biar nyahok! Jadi sekarang Bapak mawas diri, mengerti, siapa dan di mana letak kesalahannya! Ya kan Mia?!”

“Memang betul. Masuk akal. Cukup logis, bagus, dan sampai maksudnya,” kata anak saya menambahkan. “Tetapi bagus dan betul saja tidak cukup. Misi yang baik jadi kurang nilainya kalau disampaikan dengan surat kaleng yang tidak jantan seperti ini. Maaf, Pak, tadi kami sudah keliru menuduh Bapak yang sudah menulisnya. Mungkin surat ini ditulis pacar Mia, atau siapa tahu Ibu Kartini sendiri. Siapa pun dia, kita hargai pikiran-pikirannya yang positif.”

Anak saya tertawa. Mukanya ceria. Istri saya juga. Apa yang lebih membahagiakan dari itu buat seorang lelaki? Keduanya kembali ke ruang dalam meninggalkan saya sendirian. Begitu mereka masuk ke pintu, saya cepat melipat kertas kosong yang saya baca tadi. ***