Cerpen Putu Wijaya "Kebebasan"

Ada anak perempuan yang tiba-tiba mengurung dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam rumah ia lebih banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan menimbulkan curiga tetangga.
“Kalau tidak bunting tetapi tidak ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang tetangga.
Keluarga langsung mengadu kepada yang berwajib..
“Kami sudah difitnah, Pak. Kami bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap membuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan tindakan bejat. Jiwa-raganya sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi sekali. Dia hanya memutuskan tidak mau keluar rumah lagi sebab dia mau merdeka.”
Petugas yang mencatat pengaduan itu bingung.
“Mau merdeka?”
“Ya.”
“Tapi kita sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945!”
“Itu kemerdekaan politik, Pak. Anak saya mau merdeka di dalam berekspressi.”
Petugas berhenti mencatat. Dia berpikir, lalu permisi ke belakang. Di belakang ia berunding dengan teman-temannya. Petugas lain, lebih senior, lalu muncul, menggantikan bertanya.
“Bapak tadi mengatakan bahwa kita belum merdeka?”
“Bukan begitu, Pak. Saya mengatakan bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia ingin merdeka di dalam berekspresi.”
“Silakan. Kita kan sudah merdeka.”
“Tapi itu tidak akan bisa dilakukan di luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu kebebasan orang lain. Kami bisa diswiping.”
Petugas itu berpikir. Akhirnya bertanya dengan curiga.
“Tergantung dari apa yang mau Bapak lakukan!”
“Berekspresi saja, Pak.”
“Ya apa itu?”
“Berbicara, berbuat, berpikir, bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan sebagainya, Pak.”
“Silakan. Selama itu tidak mengganggu ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas melakukannya. Bahkan mengganggu pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam pikiran Bapak saja.”
“Bukan saya, Pak. Anak saya. Saya melaporkan apa yang menimpa anak saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di rumah, Pak.”
“Sakit?”
“Sama sekali tidak, Pak.”
“Kenapa tidak datang sendiri melapor ke mari?”
“Sebab dia konsisten dengan pendapatnya, Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi berekspressi sekarang, karena akan dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi dia sudah beberapa bulan ini berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena dia difitnah dikatakan bunting atau gila. Belakangan saya dengar ada yang menghasut, kalau gila harus dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan mengganggu masyarakat.”
“Jadi ada pihak-pihak yang menekan Bapak supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit Gila?”
“Arahnya pasti ke situ, Pak.”
“Konkritnya Bapak kemari mau mengadukan ……. ?”
“Fitnah, Pak!”
Petugas itu melihat ke mesin ketik. Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan itu sambil ngedumel.
“Kalau begitu ini salah. Jadi Bapak sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak bapak ke Rumah Sakit Gila!”
“Bukan, bukan begitu, Pak.”
Petugas tertegun.
“Jadi bagaimana?”
“Saya datang untuk meminta perlindungan. Berikanlah hak pada anak kami yang tidak ingin keluar rumah. Sebab dia ingin bebas mengekspresikan dirinya di dalam rumah. Dengan tidak keluar rumah, sebenarnya anak saya kan mau memelihara kebebasan orang lain di luar rumah? Mestinya mereka berterimakasih, tetapi kenapa anak saya malah difitnah?”
Petugas itu menarik nagas panjang. Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia meletakkan rokoknya, lalu permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama kemudian, atasannya muncul. Masih muda dan cakap.
“Selamat pagi, Pak, ada persoalan apa?”
Senyum dan keramahan petugas yang rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak yang mengadu itu. Ia langsung berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar putrinuya, dia akan menyerah tanpa syarat.
“Ada masalah apa?”
“Anak saya difitnah, Pak.”
“Difitnah bagaimana?”
“Difitnah bunting dan gila karena tidak keluar rumah, Pak.”
“Kenapa tiak keluar rumah?”
“Sebab dia merasa sekarang kemerdekaan sudah diartikan seenaknya oleh orang lain, sehingga kemerdekaan itu membuat orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan sudah setengah abad merdeka, Pak. Anak saya merasa kebebasan berekspresinya terancam di luar rumah, jadi dia berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah diserang oleh massa. Saya datang untuk mendapatkan perlindungan.”
Pejabat muda itu mengangguk.
“Putri Bapak itu seniman?”
Bapak yang mengadu itu mengeluarkan dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.
“Anak saya ini, Pak.”
Semua tercengang melihat foto seorang gadis yang cantik dan sensual.
“Wah putri Bapak cantik sekali. Wajar masyarakat protes, kenapa orang secantik itu tidak mau keluar rumah lagi.”
Muka Bapak yang melapor itu tiba-tiba pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti baru bangun tidur, buru-buru permisi dan membatalkan pengaduannya.
“Ternyata kita selalu bisa melihat segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya makna kebebasan,”bisiknya dengan sungguh-sungguh pada putrinya.

0 komentar:

Posting Komentar