Ada anak perempuan yang tiba-tiba mengurung
dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam rumah ia lebih
banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan menimbulkan curiga
tetangga.
“Kalau tidak bunting tetapi tidak
ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang
tetangga.
Keluarga langsung mengadu kepada yang
berwajib..
“Kami sudah difitnah, Pak. Kami
bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap membuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan tindakan bejat. Jiwa-raganya
sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi sekali. Dia hanya memutuskan tidak
mau keluar rumah lagi sebab dia mau merdeka.”
Petugas yang mencatat pengaduan itu
bingung.
“Mau merdeka?”
“Ya.”
“Tapi kita sudah merdeka sejak 17
Agustus 1945!”
“Itu kemerdekaan politik, Pak. Anak saya
mau merdeka di dalam berekspressi.”
Petugas berhenti mencatat. Dia berpikir,
lalu permisi ke belakang. Di belakang ia berunding dengan teman-temannya.
Petugas lain, lebih senior, lalu muncul, menggantikan bertanya.
“Bapak tadi mengatakan bahwa kita belum
merdeka?”
“Bukan begitu, Pak. Saya mengatakan
bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia ingin merdeka di dalam
berekspresi.”
“Silakan. Kita kan sudah merdeka.”
“Tapi itu tidak akan bisa dilakukan di
luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu kebebasan orang lain. Kami bisa
diswiping.”
Petugas itu berpikir. Akhirnya bertanya
dengan curiga.
“Tergantung dari apa yang mau Bapak
lakukan!”
“Berekspresi saja, Pak.”
“Ya apa itu?”
“Berbicara, berbuat, berpikir,
bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan sebagainya, Pak.”
“Silakan. Selama itu tidak mengganggu
ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas melakukannya. Bahkan mengganggu
pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam pikiran Bapak saja.”
“Bukan saya, Pak. Anak saya. Saya
melaporkan apa yang menimpa anak saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di rumah, Pak.”
“Sakit?”
“Sama sekali tidak, Pak.”
“Kenapa tidak datang sendiri melapor ke
mari?”
“Sebab dia konsisten dengan pendapatnya,
Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi berekspressi sekarang, karena akan
dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi dia sudah beberapa bulan ini
berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena dia difitnah dikatakan bunting
atau gila. Belakangan saya dengar ada yang menghasut, kalau gila harus
dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan mengganggu masyarakat.”
“Jadi ada pihak-pihak yang menekan Bapak
supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit Gila?”
“Arahnya pasti ke situ, Pak.”
“Konkritnya Bapak kemari mau mengadukan
……. ?”
“Fitnah, Pak!”
Petugas itu melihat ke mesin ketik.
Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan itu sambil ngedumel.
“Kalau begitu ini salah. Jadi Bapak
sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak bapak ke Rumah Sakit Gila!”
“Bukan, bukan begitu, Pak.”
Petugas tertegun.
“Jadi bagaimana?”
“Saya datang untuk meminta perlindungan.
Berikanlah hak pada anak kami yang tidak ingin keluar rumah. Sebab dia ingin
bebas mengekspresikan dirinya di dalam rumah. Dengan tidak keluar rumah,
sebenarnya anak saya kan mau memelihara kebebasan orang lain di luar rumah?
Mestinya mereka berterimakasih, tetapi kenapa anak saya malah difitnah?”
Petugas itu menarik nagas panjang.
Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia meletakkan rokoknya, lalu
permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama kemudian, atasannya muncul.
Masih muda dan cakap.
“Selamat pagi, Pak, ada persoalan apa?”
Senyum dan keramahan petugas yang
rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak yang mengadu itu. Ia langsung
berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar putrinuya, dia akan menyerah
tanpa syarat.
“Ada masalah apa?”
“Anak saya difitnah, Pak.”
“Difitnah bagaimana?”
“Difitnah bunting dan gila karena tidak
keluar rumah, Pak.”
“Kenapa tiak keluar rumah?”
“Sebab dia merasa sekarang kemerdekaan
sudah diartikan seenaknya oleh orang lain, sehingga kemerdekaan itu membuat
orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan sudah setengah abad merdeka, Pak.
Anak saya merasa kebebasan berekspresinya terancam di luar rumah, jadi dia
berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah diserang oleh massa. Saya datang untuk
mendapatkan perlindungan.”
Pejabat muda itu mengangguk.
“Putri Bapak itu seniman?”
Bapak yang mengadu itu mengeluarkan
dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.
“Anak saya ini, Pak.”
Semua tercengang melihat foto seorang
gadis yang cantik dan sensual.
“Wah putri Bapak cantik sekali. Wajar
masyarakat protes, kenapa orang secantik itu tidak mau keluar rumah lagi.”
Muka Bapak yang melapor itu tiba-tiba
pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti baru bangun tidur, buru-buru
permisi dan membatalkan pengaduannya.
“Ternyata kita selalu bisa melihat
segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya makna kebebasan,”bisiknya
dengan sungguh-sungguh pada putrinya.
0 komentar: