Setiap
kali hendak menulis namanya sendiri, tangannlya selalu keseleo dan
menulis kata “babi”. Ia jadi dongkol sekali. Ia ltelah mengunjungi
seorang ahi ilmu jiwa, tetapi tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Ia juga sudah datang ke depan seorang ulama, tetapi ia hanya diasihati
seupaya beristirahat. Padahal, ia yakin benar bahwa mungkin sekali ia
sedang berubah untuk menjadi gila.
“Dokter,”
ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan luntuk berpisah dengan
tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan
diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat
lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong
tangan ini.”
Dokter itu seorang
yang penuh pengertian. Ia mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia
sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia
hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan emotong yang kanan atau yang
kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kanannyalah yang
telah berontak, karena itulah yang dipakai untuk menulis.
“Jangan
terburu nafsu,” kata dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor
sampingan. Kalau tangan Saudara ini memang telah nekat untuk menganut
ideologi yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan.
Saya khawatir kalau ia hanya sekadar pancingan.”
Penderita itu tercengang.
“Maksud dokter?”
“Maksud
saya adalah bahwa, janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing.
Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak Anda lakukan. Jangan
berkata-kata lagi. Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waaktu
seperempat jam. Kemudian saya akan kembali. Sesudah itu, kita pastikan
aoa yang akan kita lakukan. Ketahuilah. Tak ada yang sulit untuk
dilakukan. Saya sudah memotong ribuan tangan orang. Saya berani
melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus
berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya
katakan?”
Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.
Selama
seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku
tangannya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia
harus berpisah. Lalu dibukanya jam tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua
barang-barang itu dipindahkannya ke tangan kiri. Sesudah itu ia duduk
dengan tenang.
Waktu
dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak
ada jalan lain harus dipotong dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan
itu dengan hati-hati.
“Ada sesuatu yang lain pada tangan ini sekarang,” ujarnya.
Penderita itu tertawa.
“Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”
“Kenapa?”
“Kan tangan ini mau dipotong?”
“Lalu di mana jam dan cincin itu?”
Penderita itu mengulurkan tangan kirinya.
“Di sini dong!”
Dokter
itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan
gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan
segera mengambil alat untuk memotonya. Penderita itu tentu saja
terkejut.
“Dokter mau memotong tangan kiri saya?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Dokter meletakkan telunjuknya di mulut, “sst!”
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa mesti sst?”
“Sudahlah diam dulu, ini politik!”
“Politik bagaimana?”
Dokter
mendekatkan mulutnya ke telinga penderita itu, lantas berbisik,
“kelihatannya saja tangan kanan Saudara yang salah. Tapi sebetulnya
tangan kiri Saudara. Ini politik. Tangan kiri Saudara iri kepada tangan
kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase.
Sementara Saudara menulis ia menutup muka saudara, lalu menggosok
tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia tulis?”
“Babi.”
“Ya babi.’
“Tapi Dokter.”
“Oke, mari kita coba sekarang!”
Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.
“Sekarang coba tulis nama Anda.”
Penderita itu menggeleng. Dokter menepuk-nepuk pundaknya.
‘Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela untuk menolong tanga kiri itu. Ayo coba!”
Ia segera menggenggamkan pulpen itu di tangan kanan penderita.
“Tulislah sekarang nama Anda!”
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa?”
“Nggak mau!”
“Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”
Dokter
itu membujuk-bujuk. Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia
kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tangannya bergerak
dengan lambat. Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku. Urat-uratnya
keluar. Dokter itu memperhatikan dengan takjub. Ia seperti melihat
sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.
Hampir
sepuluh menit lamanya, baru tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter
itu menarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu
tampak berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam.
Dokter itu segera mengambil sapu tangan. Ia mengusap muka pasiennya.
Ia
juga sempat mengambil air dan memberi minum penderita itu. Aneh sekali
matanya masih tetap tertutup. Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.
“sudah, sudah, semuanya sudah selesai. Sekarang buka matanya.”
Penderita
itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu
mengambil kertas dan menunjukkan kepada orang itu. Ia tersenyum simpul.
“Coba baca,” kata dokter dengan bangga.
Pasien itu diam saja.
Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.
“Coba baca dong,” kata dokter dengan nada kemenangan.
Pasien itu masih diam-diam saja.
“Ayo baca!”
Pasien
itu tampak memusatkan pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak
lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja
ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek.
“Babi!”
0 komentar: