Gubernur marah besar. Panitia pemilihan
Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer dengan berbagai pertanyaan. Mengapa
dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat tidak seorang pun adalah putri
daerah?
“Kalau begitu apa gunanya ada pemilihan
Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata, Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang,
Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di mall-mall sampai salon-salon
kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa betul putri daerah kita
tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua akan jadi perawan tua,
karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar sana? Ini tragedi!”
“Tapi ini kan hanya kegiatan hura-hura
yang informal Pak?”
“Memang! Tapi masak bintang-bintang
Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena kalian hanya lihat di film.
Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik kameranya, tata lampunya dan
sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga kerbau pun kalau
dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba kalau kalian lihat
kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang berbulu, kulitnya yang
sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian akan menyesal sudah
sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus bermimpi! Putri-putri
daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat setiap hari saja,
kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak karena adanya di
pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”
Panitia tidak berani menjawab. Gubernur
sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau dipotong bisa parah.
“Coba apa kreteria kalian menentukan
kecantikan sampai bintang-bintang film yang doyan gonta-ganti pasangan itu
dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan wajah itu diukur dari panjang
hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan sehingga mengundang nafsu.
Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral serta kecerdasan. Apa itu
bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang itu cantik?”
“Kami tidak memberikan kreteria, Pak.
Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”
“Jadi ngawur?”
“Bukan Pak. Kami hanya tidak memberikan
batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran kecantikan itu kan subyektif, jadi
kami serahkan pada para pembaca saja.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab!”
Panitia bingung.
“Maksud Bapak, kami harus
bertanggungjawab?”
“Ya dong! Sebagai warganegara yang baik,
saudara harus bisa mempertanggungjawabkan kontes yang saudara adakan!”
“Kalau itu sudah, Pak. Kami sudah
umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas. Kami akan segera memilih
pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu pos mereka pada malam
selamatan ulang tahun media kami.”
“Bagaimana kalau satu orang mengirim
1000 kartu pos?”
“Boleh saja, Pak, asal mereka menempel
juga stiker yang ada di majalah kami.”
“Kalau begitu, bisa saja 9 perempuan
tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan rakyat kita semua, tapi
pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan mampu membeli majalah
Anda?”
“Memang begitu, Pak!”
“Umumkan dong!”
“Untuk apa Pak?”
“Ya itu tanggungjawab saudara sebagai
penyelenggara!”
“Tidak perlu, Pak, sebab mereka sudah
tahu.”
“Tidak bisa! Saudara harus mengumumkan
bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita, tapi pilihan yang mengirim
jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya beberapa ribu, tidak
mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka palsu. Mereka bukan 9
wanita tercantik.”
“Memang bukan, Pak!”
“Kalau begitu umumkan dong!”
Pertemuan selesai. Gubernur tak ada
waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke luar negeri menghadiri sebuah
Festival yang diselenggarakan oleh negara sahabat. Para panitia segera
berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar himbauan Gubernur
dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.
Setelah mempertimbangkan masak-masak,
panitia mengambil jalan tengah. Keputusan pemenang dibatalkan, karena dianggap
ada indikasi sudah terjadi kekisruhan akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan
akan diulang. Sebagai kompensasi, hadiah yang rencananya diberikan kepada para
pemilih, dilipatgandakan..
Ada protes, tetapi tidak terlalu
berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan dibatasi sebatas orang-orang cantik
di dalam negeri. Kriterianya pun dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya
kecantikan phisik yang terpakai, tetapi juga kecantikan kepribadian. Beberapa
kreteria juga menggiring calon pemilih untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan
berbagai kontes di daerah.
Hasilnya amat mengagetkan. Dari sembilan
wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima di antaranya adalah wadam.
Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang baru pulang dari luar
negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan para wartawan, karena
merasa tidak puas.
Panitia kembali diundang berdialog.
“Kenapa saudara sampai membiarkan 5
wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di negeri ini?”
Panita ketawa.
“Jangan ketawa ini serius!’
“Peserta mungkin mulai sadar bahwa
pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan main-main, Pak!”
“Tidak ini tidak main-main. Ini cerminan
dari perasan mereka yang sejujurnya.”
“Kalau itu betul, Pak. Karena tidak
formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih itu mengungkapkan apa adanya.
Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen phisik tetapi juga kepribadian,
pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka yang terpilih memang sangat
professional.”
“Profesional apaan! Itu pilihan yang
salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang sakit!”
Panitia mengangguk.
“Kok memngangguk?”
“Saya kira itu ada benarnya, masyarakat
kita sedang sakit!”
“Tidak! Masyarakat kita masyarakat yang
sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara yang sudah membuat mereka sakit.
Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh ada wadam yang dipuji sebagai 9
wanita cantik. Ini salah kaprah!”
Panita bengong.
“Maksud Bapak kami harus mengulangi
pemilihan ini sekali lagi?”
“Tidak usah! Tapi ganti pemenangnya
dengan ini!”
Gubernut mengeluarkan secarik kertas
dari kantungya.
“Cabut nama-nama itu dan gantikan dengan
nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang sakit!”
0 komentar: