Cerpen Putu Wijaya "Protes"


Orang kaya di ujung jalan itu jadi bahan gunjingan. Masyarakat gelisah. Pasalnya, ia mau membangun gedung tiga puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan penduduk di sekitarnya. Di samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet, kelab malam, dan kafe musik.
Protes ilustrasi Sunaryo
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan, watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita harus membina karakter kita. Arti kemerdekaan adalah: sejak detik merdeka itu, nasib kita ke depan adalah tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita mau hidup layak, harus bekerja. Kalau mau maju, harus membangun. Kalau mau membangun, buka mata, buka baju, buka sepatu, buka kepala batu, singsingkan celana, bergerak, gali, cangkul, tembus semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak ada yang akan memerintah kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka! Hidup kita milik kita dan adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab kita, semua mesti dilakukan sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti yang ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin dan dipikul sendiri! Itu baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati! Betul tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk berembuk, hanya bisa mengangguk. Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia baru sadar kedatangannya hanya untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang sangat memikirkan kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah semakin sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan. Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk bernapas lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di rumah untuk beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung hidup dalam sangkar, kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan, tempat pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru buatan supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di lingkungan kita ini. Sebab tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus segar. Begitu strategi saya dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak sendiri, kita juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia. Dengan begitu kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain, karena ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kok sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan lingkungan. Ck-ck-ck! Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan ini, kan, bukan semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama serentak, take off, berkembang, maju, sejahtera, dan nyaman! Masak sudah 69 tahun merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Central Park. Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas, bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita, ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam saja, sebagai tamu, terasa kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka, Baron sudah memotong.
“Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat. Tapi uang itu bukan jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan, apalagi korupsi! Bukan dan bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja mati-matian. Kenapa? Karena saya ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena saya kerja keras! Itu lingkaran setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran setan kemajuan! Kalau mau maju, harus kerja keras. Kalau kerja keras pasti maju! Kalau tidak begitu mana mungkin saya kaya? Tapi apa salahnya kaya? Apa orang berdosa kalau kaya? Tidak kan??? Tidak! Tapi sebenarnya saya tidak kaya, Pak Amat, orang-orang itu salah kaprah! Orang kaya itu, orang yang menaburkan uangnya, di mana-mana. Misalnya itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main petasan, membagi-bagikan duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian sosial, yang bikin orang tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet mengawasi tiap sen yang keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut saya sendiri. Kalau bisa jangan satu sen pun ada duit saya yang keluar. Uang yang saya pakai membangun itu, bukan uang sendiri, itu utang semua! Utang! Paham?”
“Tidak.”
“Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah faktanya! Orang kaya itu tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!? Tapi jangan salah! Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya bukan orang kaya Pak Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa saya kelebihan duit? Tidak! Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit bank, jaminannya kepala saya, kepala anak-bini saya! Kalau saya salah perhitungan, kami semua akan hidup tanpa kepala! Tapi saya tidak takut. Yah sebenarnya takut juga. Tapi kalau kita memanjakan takut, kalau kita memanjakan takut, kita akan ditelan iblis. Saya tidak mau ditelan mentah-mentah. Saya yang harus menelan. Tuhan memberikan saya tangan, kaki, badan dan otak untuk bukan, bukan saja menelan, tapi mengunyah nasib dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata pepatah: tiada batang akar pun berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak Amat. Siapa yang bisa bebas dari rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak bebas dari takut, Pak Amat! Tapi tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang membuat waspada, takut yang bikin mawas diri dan berani. Ada takut yang menyebabkan kita tidak takut. Takut yang membuat kita menyerang garang. Takut itu tidak semuanya takut. Takut itu penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus takut, kapan pura-pura takut. Kapan takut untuk nekat. Yang saya haramkan satu: jangan jadi penakut! Karena itu pembangunan saya ini harus dilanjutkan. Oke, sekarang Pak Amat tahu, saya kelihatannya saja asosial, padahal saya sosialis. Amat sangat peduli sekali pada warga. Saya ingin semua kita di sini maju. Jangan, kalau ada orang punya duit, padahal itu karena dia banting tulang, lalu iri, sewot, sirik, menuduh orang itu kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi sekarang. Makanya saya ngajak bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor sudah merasa masuk surga. Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak! Jangan! Banyak yang harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib menyadari dirinya masih kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun, marah! Jangan marah sama saya-marahi nasib! Jangan takut pada perubahan. Takutilah takut! Ambil risiko! Perubahan itu berkah, cabut uban, berhenti cari kutu! Aahhh, capek saya menghadapi orang-orang kecil yang kampungan!! Risih! Mau wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di otaknya.
“Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah dikatakan Baron.
“Terus Bapak bilang apa?”
“Ya, tidak membantah.”
“Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan protes warga?!”
“Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau dipangkas nanti malah makin meranggas!”
“Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
“Kok mikir? Sudah atau belum?”
“Ya. Tapi dengan cara lain.”
“Masudnya?”
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah. Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin, teh manis pun seperti air surga!”
“Dan Baron mengerti?”
“Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran berita. Buat pesawat yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi tambah cuaca buruk, yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
“Maksudnya apa?”
“Ya, seperti black campaign, di masa pemilu, buat pendukung lawan, akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang bersangkutan, justru lelucon segar!”
Bu Amat mulai kesal.
“Pak Baronnya nyadar tidak?”
“Nah itu masalahnya.”
“Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”
“ Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”
“Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan orang bodoh. Katanya dia punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya itu beli. Apalagi sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat. Tapi apa tanggapannya pada protes kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen, kompleks perbelanjaannya benar-benar berdiri, pasar tradisional kita akan mati. Ratusan orang akan kehilangan mata pencahariannya. Apalagi kalau warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi. Amat keburu menjawab:
“Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata pepatah: Dalam lubuk bisa diduga, dalam ….
“Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa apa yang harus disampaikan!”
“Kalau lupa sih, tidak. Hanya …”
“Hanya apa?”
“Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
“Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah tahu, bahwa kita, penduduk di sini semuanya menolak!”
“Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
“Semua.”
“Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan menawarkan tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-mentah. Masak hunian kita mau dijadikan….”
“Dijadikan hotel dan apartemen!”
“Betul!”
“Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
“Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan tidak bisa bikin rumah bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga yang tidak mampu? Di samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan sejarah, karena di sinilah dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan. Rumah-rumahnya tetap kita pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.
“Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita ini air sumurnya paling bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian lain di sekitar sudah keruh dan asin? Sudah disampaikan ….”
“Kalau itu belum.”
“Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang lain-lain, sudah kan?”
“Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
“Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak menyampaikannya!”
“Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
“Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
“Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
“Ah? Bagaimana?!”
“Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang omong. Amat pun tahu apa yang mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar mendengarkan.
“Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung membantah. Renungkan saja, apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu kali saja. Paham?”
Amat mengangguk.
“Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas. Karena, orang besar itu, sudah banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam, kata-kata dan perbuatan yang sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan tanggapannya. Orang sudah tahu apa yang tak diucapkannya. Itu bedanya dengan kita, orang kecil. Kita kalau diam berarti bego. Menyerah. Atau manut-manut saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri, juga monggo. Diam itu ya, kosong melompong. Tidak ada yang tahu apa isi hati kita. Jangankan diam, kita ngomong sampai mulut robek dan perut gembung juga orang tidak mendengar apa mau kita sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan diicantolkan kepada kita. Mau? Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk menyampaikan isi hati mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di lingkungan kita ini. Meskipun tidak dipilih seperti caleg-caleg itu dan tidak diangkat secara resmi. Bapak juga memang tidak disumpah untuk mewakili warga. Tapi begitu Bapak masuk rumah Pak Baron, semua orang Bapak wakili. Begitu Bapak keluar, mereka menuntut, apa hasilnya. Jadi kalau besok ada pertanyaan, hasilnya, apa yang harus saya jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam, karena tak ingin memotong curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak. Puluhan tahun kita hidup bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati kecilmu. Kamu bicara meskipun diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau istrinya saja mengerti isi hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang doktor itu tidak. Jauh di sana dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika ia bilang orang kecil diamnya tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: “Orang kecil yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: “Tetangga kasak-kusuk Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.” (*)

0 komentar:

Posting Komentar