Cerpen Putu Wijaya "BALIKUI"

Di hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter College, New York, Wayan harus bercerita tentang Bali. Claudia Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan tinggi negeri itu, meminta Wayan tampil sekitar satu jam. "Boleh ngapain saja. Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah, asal Bali," kata Claudia. Wayan jadi ngeper. Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.
Membaca ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang Bali. Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah komplet menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulis oleh Doktor I Made Bandem dan Doktor Fritz de Boer. Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar seperempat jam. Kemudian mungkin ia akan memutar video pertunjukan sendratari Ramayana, kecak dance atau legong keraton.
Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa gerakan tari Bali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi begitu berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata menatapnya, ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga ada mata Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan terselip satu dua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar. Semuanya berantakan.
"Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa hancur lebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih berbicara di depan Anda semua. Karena paling tidak saya bisa menjadi tontonan konyol," kata Wayan membuka kelas
Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut. Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnya ditertawakan. "Waduh saya jadi grogi, maaf mungkin saya harus permisi ke belakang dulu," kata Wayan sambil menoleh kepada Claudia yang ikut duduk di deretan mahasiswa, menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para mahasiswa tertawa lebih keras.
Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. "Tapi kalau saya ke belakang, saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih baik saya tahan saja, mudah-mudahan saja tidak kebablasan di sini di depan Anda." Para mahasiswa semakin seru ketawa. "Maaf saya tidak melucu." Beberapa mahasiswa bertepuk tangan gembira. "Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak pintar berbicara, apalagi dalam bahasa Inggris. Terus-terang, sebenarnya tak ada yang perlu saya bicarakan kepada Anda. Anda sudah tahu semuanya.
Coba apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yang tidak saya ketahui, banyak sekali. Misalnya, lho kenapa Anda semua harus mendengarkan cerita orang yang tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas mendengarkan cerita Anda. Orang Bali yang harus banyak belajar dari orang Amerika." "Lihat saja dari kepala sampai ke kaki, saya sudah mencoba jadi orang Amerika. Saya memakai celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya beli di loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King. Apalagi saya sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres selama satu minggu. Tapi saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?" Wayan tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu.
Tapi tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan jadi berkeringat. "Ya, terus terang saya sudah habis-habisan mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua bulan di sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orang New York, tetap saja saya tidak pernah bisa berhasil jadi orang Amerika. Ternyata sekali saya lahir sebagai orang Bali,
saya sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya coba lakukan, berbohong atau menipu sekali pun, tetap saja masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja, tidur, pacaran, bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali." Para mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.
"Jadi bukan pakaian, bukan makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi takdir. Dan saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan. Saya pernah mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang menjadikan saya berbeda dengan Anda semua orang Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari belahan dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil menemukan jawabannya. Saya hanya punya contoh. Waktu saya mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang pertama kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan sampai satu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama lain.
Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahal rambut, tinggi, potongan badan, kelakuan, pakaian, nama serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi sebaliknya juga terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama satu minggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka sama. Wayan semuanya.
Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang sama pada semua orang Bali?" Beberapa orang mahasiswa bergerak, siap menulis di atas catatannya. "Maaf jangan ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya bohong atau menipu kalian," kata Wayan. Para mahasiswa tertawa cekakan.
Wayan kembali berkeringat. "Orang bilang, orang Bali itu balikui," lanjut Wayan, "artinya lugu, polos begitu. Dalam bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya Claudia?" Claudia mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya. Namun para mahasiswa mencatat. "Banyak orang mencoba belajar kesenian Bali, tari Bali, gamelan Bali dan sebagainya, dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan agemnya," kata
Wayan menyambung, "tetapi meskipun secara matematika sudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya kaku. Belajar gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak pernah pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang. Masalahnya, saya kira karena mereka mencoba mendekati dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop. Karena itu, mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya juga mempelajari Amerika dan mengajarkan Amerika, yang selama ini dimulai dari bentuknya saja, harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu dipahami, tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali, dan tahu tentang Bali." Claudia memberi isyarat pada Wayan dengan menunjuk jam tangannya, tanda waktu sudah berlalu. Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.
Wayan kontan berkeringat. "Lho, saya belum sempat lagi mulai, kok waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf saja, sekian dulu," kata Wayan menyesal, sambil memandang Claudia seperti orang kalah perang. Para mahasiswa bertepuk tangan.
 
 
                                                                                                                                  Jakarta, 17-5-02

0 komentar:

Posting Komentar