Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa
mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar
di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya
dimenangkan.
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu
sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah
pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang
melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di
kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang,
seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami
musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal
politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam
kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia
yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini
adalah perjuangan hak azasi yang suci.”
Saya langsung pasang kuda-kuda.
“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama
sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi
berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”
“Tapi bukankah karya yang bagus itu
adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”
“Betul. Tapi meskipun membela
kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang
lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak
akan bisa menang.”
Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak
menjanjikan apa-apa?”
“Sama sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong
yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi
entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.
“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh
menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya
kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang
membuat syok.
“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke
bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau
Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman
sekarang memang banyak penipuan bank”
Saya memang tidak percaya. Tapi saya
tidak ingin memperlihatkannya.
“Anda tidak percaya kepada kami?”
“Bukan begitu.”
“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka
kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”
Saya tak menjawab.
“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti
sudah menebak pikiran saya.
“Kita transparan saja.”
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia
mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
“Kami tidak siap dengan uang tunai
sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami
pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi,
untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”
Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada
waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK,
lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan
ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.
“Silakan.”
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang
paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu
sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia
merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.
“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda,
tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini
juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai
bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan
sekarang.”
Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan
menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.
“Hallo, hallo …… .”
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi
orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan.
Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk
saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah
tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di
atas meja.
“Ade, jangan!”
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
“Adeee jangan!”
Saya bangkit lalu mengejar anak saya
yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya
berlari. menyelamatkan diri.
“Ade jangan!”
Anak saya terus kabur melewati rumah
tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak.
Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.
“Ade jangan itu punya Oom!”
Terlambat. Anak saya melemparkan kedua
amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja.
Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya
sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud
menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum
berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental.
Baik menerima mau pun menolaknya.
Kedua amplop itu langsung tenggelam.
Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan
menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan
kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.
Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya.
Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang
hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya
berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai
ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.
Dengan
berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya
sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap
lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan
kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang
tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak
memanggil baru saya berhenti.
“Bang! Tamunya mau pulang!”
Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari
kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat
kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya
tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.
“Eling Dik, eling,” kata seorang
tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.
“Abang kenapa sih?” tanya istri saya
galak dan penuh malu.
Saya tidak berani menjawab terus-terang.
Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun
seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka
yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk menghindarkan kemalangan yang
lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi
tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak
pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.
Saya termenung. Apa pun yang saya
lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya
sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang
pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang
senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung
ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan kenapa saya terlalu lama bego.
Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh
malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil
memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap.
Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara
pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.
“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan
madi dulu, bau!” bentak istri saya.
Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar
mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan
busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi
bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.
“Cepat mandinya, bungkusannya sudah
ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan
menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
“Mana?”
Seorang anak tetangga, teman main anak
saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia
nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya
strap.
“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua
amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.
“Limapuluh ribu?” teriak istri saya
memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan
menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang
bener aja!”
“Tapi .. .”
“Ah sudah! Tidak mendidik!”
Saya tidak berdebat lagi, karena anak
itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar
seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki
sampah yang membuat usus bolong..
Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar
mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya
kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun
harganya hanya karena belepotan kotoran.
“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.
Saya cepat-cepat menghindar sambil
menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide
busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk
penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki
sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek
hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih
baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa
saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa
depan anaknya cerah.
Saya naik ke atap rumah untuk menjemur
amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas
matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil,
saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang
lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak,
saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.
Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu
tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan
yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan
pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut
memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu
memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di
bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh
masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah
menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan
menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih,
tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di
depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan
ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu
menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau
tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka
ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah
bersikap menolak.
Sayang sekali roda kehidupan yang
membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua,
ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap
adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang
juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah
semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan.
Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat.
Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan
kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang
mencoba menyuap itu.
Pada bulan ketiga, saya capek menunggu.
Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik
yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak
saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga
lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.
Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan
meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya
masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya
sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli
motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya
kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun
dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun
menikmati manis suapnya.
“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu
yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop
uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena
sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya
tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi
sampai mati. Ini!”
Saya terimakan kedua amplop itu ke
tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia
tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
“Ayo dibuka saja!”
Istri saya tiba-tiba menunduk dan
menangis.
“Lho kok malah nangis.”
“Abang jangan salah sangka begitu.”
“Salah sangka bagaimana?”
“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”
“Yang tidak-tidak apa?”
“Aku tidak capek karena kita miskin,
tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena
tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa
diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat
menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”
Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop
itu di depan saya.
“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak
baik, nanti tidak akan pernah baik.”
Dia menggayut tangan Ade, lalu
membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu
menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.
Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh
istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya
tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka,
asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua
lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking
menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak
saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya
menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya
terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang
isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop
itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya
berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika
menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua
dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai
gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu
gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya.
Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan
rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.
Dengan gelap jelalatan karena geram saya
keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari
berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga.
Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam
kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu
kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi
perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam
kiat dan keberanian.
Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak
peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca
pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.
“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang
dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”
Hampir saja rumah barunya saya bakar,
kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya
habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih
bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.
0 komentar: