Cerpen Putu Wijaya "Surat dari Kartini"

Pulang dari menghadiri peringatan Hari Kartini, anak saya terkejut. Ada surat di atas meja. Bukan soal suratnya, tetapi siapa yang mengirimkannya.

“Mia, ada surat dari Raden Ajeng Kartini buat kamu!” teriak istri saya dari dapur.
Sambil berusaha mencopot gelungan yang memberati kepalanya, anak saya merobek amplop surat.

“Baca keras-keras, Ibu ingin dengar isinya,” teriak istri saya lagi lebih keras.
Belum berhasil menarik sanggul yang seperti raket pingpong di belakang kepalanya, anak saya membuka kebaya dan jarik yang membuatnya terbuntal seperti lemper.

“Ayo baca!”
Mia mulai membaca sambil menyelonjorkan kakinya yang pegel karena memakai hak tinggi.

“Cucuku …”
“Yang keras!”
“Cucuku, setiap tahun kamu sudah mengenakan sanggul raksasa warisanku yang membuat lehermu jadi salah urat, karena keberatan. Badan kamu juga tersiksa karena lima jam dibuntal seperti bantal guling.”

Anak saya tertawa.
“Jangan ketawa! Apa katanya?” teriak istri saya sambil nongol dari dapur.

Mia melanjutkan membaca.
“Pakaianku kamu tiru. Lagu pujian kamu nyanyikan keras-keras. Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai Ibu kita Kartini, putri yang mulia, sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.” 

“Jangan nyanyi! Baca saja?!”
Anak saya berhenti menyanyi.
“Dia bilang kita hanya memuja-muja pakaiannya tetapi lupa kepada perjuangannya.”

“Baca!”
“Cucuku, jangan hanya ulang tahunku yang dirayakan, tapi praktekkan, wujudkan semua cita-citaku yang sampai sekarang belum tercapai. Aku memperjuangkan emansipasi untuk kaum wanita, supaya kaum perempuan tidak lagi dibelenggu gerak-gerikmu dengan alasan menjaga kepribadian, padahal sebetulnya itu adalah siasat laki-laki untuk membuat kita bodoh!”

“Betul!” teriak anak saya memberi komentar.
“Terus baca!”
“Tapi setelah lebih dari seratus tahun, ternyata cita-citaku masih tetap hanya impian. Apa kamu kira perempuan Indonesia sudah mendapat kebebasan? Sudah mendapatkan hak-hak yang setara dengan pria? Tidak cucuku!”

“Betul!” puji Mia dengan bersemangat.
“Jangan kasih komentar, baca saja!”
Tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, anak saya membaca dengan suara lebih keras.

“Jangan dikira kalau perempuan sudah boleh bersekolah sudah ada kebebasan. Belum. Jangan dikira kalau perempuan sudah bebas memilih jodoh, berarti sudah merdeka. Tidak! Jangan dikira karena kamu pakai celana panjang, sudah ada kesetaraan. Belum! Pakaian kamu beli mahal-mahal, tapi perut kamu umbar sampai udel kamu ke mana-mana berkeliaran. Itu pemborosan. Sekali bergaya satu minggu masuk angin…”

Anak saya berhenti membaca.
“Ayo, baca terus!”
Tapi anak saya tak mau meneruskan. Dia melipat surat itu dan mau melemparkannya ke meja. 

“Kenapa berhenti?”
Anak saya tidak menjawab. Istri saya keluar dari dapur. Mia melipat surat itu dan melemparkannya ke atas meja.

“Kok dilemparkan. Apa terusannya?”
“Tidak usah. Aku tahu siapa yang menulis surat itu!”
“Bukan soal siapa yang menulisnya, tapi apa isinya. Coba teruskan baca!”

Tapi Mia tidak mau meneruskan membaca. Mukanya kelihatan sebal. Ia merenggut-renggut sanggulnya yang tidak mau copot. Tetapi semakin ditarik, sanggul itu semakin membelit seperti jatuh cinta kepada kepalanya.

Istri saya meraih surat Kartini yang belum selesali dibaca itu. Lalu meneruskan membacanya.

“Kebebasan tidak berarti kebablasan,” baca istri saya dengan lantang. “Dengan kebebasan jangan dikira kamu bisa ongkang-ongkangan seenak perutmu. Bapak kamu kerja lembur, nyapu, ngepel, mencuci, membersihkan sepeda, dan nyemir sepatu kamu karena kamu tidak mau membantu! Itu bukan kebebasan tetapi kemalasan!”

“Sudah!” teriak anak saya sambil menutup telinga.
“Tapi ini betul Mia!”
“Kalau pun betul, tapi betul saja tidak cukup alasan untuk membuat aku mendengarnya!”

“Kenapa?”
“Sebab aku sudah tahu! Semua anak muda di mana-mana juga seperti itu! Itu biasa. Itu bukan kemalasan, tapi proses kami dalam mencari diri! Ibu harusnya mengerti sebab Ibu pernah muda! Jangan hanya bisa mencela! Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Anak saya meraih surat itu dan mau merobeknya. Tapi istri saya cepat merebut.

“Jangan!”
“Ngapain mendengarkan caci-maki begitu?!”
Istri saya tertawa.
“Kamu gitu saja sudah tersinggung! Bukan hanya kamu, Ibu juga menerima surat dari Raden Ajeng Kartini.”
Anak saya yang sudah melangkah hendak ke kamar tertegun.

“Ibu? Ibu juga menerima surat dari Kartini?”
“Ya.” 
“Mana?”
Istri saya menggosokkan tangannya yang berminyak ke kain, lalu merogoh ke balik kutang. Ia mengeluarkan sebuah amplop. Berbahagialah orang yang menulis surat kepada perempuan yang masih rajin memakai baju kutang. Maksud saya berbahagialah surat itu.

Istri saya menunjukkan nama pengirim surat itu di amplop. Kemudian ia merobek dan mengeluarkan isinya. Dengan memberikan jarak, sebab ia tidak membawa kaca mata, ia mulai membaca.

“Anakku, di zaman kamu hidup sekarang ini, nasib perempuan tidak seperti di abad ke sembilan belas. Sekarang perempuan tidak lagi hanya berkutat di dapur, di sumur, dan di kasur menemani suaminya tidur. Sekarang perempuan sudah boleh mengejar karir. Ada yang jadi wartawan, sopir taksi, kondektur, satpam, polisi, tentara, dokter, insinyur, menteri, bahkan ada yang sudah bisa jadi presiden.”
Istri saya berhenti membaca dan menoleh pada anak saya.

“Benar, kan?”
“Benar saja tidak cukup, tapi berapa orang bisa jadi menteri, berapa orang bisa jadi presiden, dan apa betul suaminya tidak ikut-ikutan mempergunakan kekuasan dari belakang?”

Istri saya pura-pura tidak mendengar lalu membaca dengan suara lebih keras.
“Tapi, lihat itu Kepala Desa yang menyombongkan dia berhasil mengumpulkan sembilan orang istri di bawah satu atap rumahnya dengan semuanya merasa bahagia. Lihat itu TKW yang sudah dipuja-puja sebagai pahlawan pengumpul devisa, ternyata pulang dari mancanegara babak-belur seperti Nirmala Bonar. Lihat, ada perempuan dipotong tangannya oleh suaminya gara-gara cemburu buta! Di mana letak kesetaraan?” 

“Betul, kan?” kata istri saya kembali menoleh anaknya.
Mia tak menjawab. Mukanya sinis.
“Sekarang yang ramai bukan perjuangan kesetaraan tetapi kesesatan dan keblingeran mengartikan kebebasan. Dulu, laki-laki yang banyak meninggalkan perempuan, sekarang perempuan sudah bisa menceraikan suami. Ada ibu tega meninggalkan anak-anaknya, bukan untuk mengejar kesempatan, tapi mengejar lelaki lain yang kantungnya lebih tebal. Ada ibu menjual anaknya sendiri sebagai pelacur….”

Suara istri saya semakin lirih.
“Lho, kenapa dibaca dalam hati!” protes anak saya.
“Mata Ibu berair karena tidak pakai kaca mata.”

Anak saya meraih surat yang ada di tangan ibunya lalu membaca keras-keras.
“Ada perempuan yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa mensyukuri hidup, mengejek keterbatasan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain. Suaminya kurang aktiflah, kurang bisa melobbylah, kurang lihai merebut kesempatanlah, kurang memuaskan dalam….”

“Itu tidak usah dibaca!”
“Tapi ini betul, Bu!”
“Ya, tapi itu kan oknum!”
Anak saya mau meneruskan membaca, tapi istri saya merebut surat itu.

“Katanya harus dibaca, yang penting kan isinya!”
“Tidak semuanya harus dibaca, Ibu sudah tahu isinya!”
“Belum tentu. Mungkin Ibu tidak berani menerima kenyataan!”

Istri saya kesal. Tapi anaknya tidak takut. Itu bedanya anak muda dengan orang tua. Anak muda meskipun malas, tetapi jujur. Orang tua terlalu banyak pertimbangan dan penakut.

Istri saya langsung membuka kembali surat yang semula sudah dilipat dan langsung membacanya. Mungkin ia tidak mau dituduh anaknya suka berpura-pura.

“Perjuangan perempuan yang sebenarnya adalah perjuangan untuk mencapai persamaan yang benar-benar harmonis, jadi bukan membalikkan posisi. Dulu perempuan dipoligami, sekarang perempuan jangan mau main poliandri! Musuh perempuan bukan hanya kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan yang salah kaprah!”
Istri saya menoleh.

“Kalau ini betul dan penting!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri!”
“Itu juga betul?”

“Nanti dulu, harus dilihat apa sambungannya!”
“Ya, sudah teruskan!”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri, sama dengan lelaki dan seperti juga manusia normal pada umumnya.”

Istri saya manggut-manggut.
“Kalau ini baru betul!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah dirinya sendiri ….”
“Itu sudah tadi.”

“Tapi ini diulangi sampai dua kali. Musuh perempuan adalah dirinya sendiri, karena perempuan memiliki kebiasaan untuk lebih peduli kepada perasaannya sendiri. Terutama para ibu.”

“Betul!”
“Jangan nyeletuk, ini belum selesai! Umumnya para ibu karena sangat khawatir pada keselamatan dan masa depan anak gadisnya, jadi bersikap over protektif alias kejam —ini harusnya bukan kejam tapi keras.” 

“Lho, surat orang kok dikoreksi?”
“…. sehingga gampang terjadi ketegangan, akibatnya sering bertengkar dengan anak perempuannya yang mulai besar dan juga suaminya dalam soal-soal kecil dan melupakan soal besar yang lebih penting dipikirkan!”

Anak saya tertawa.
“Diam!”
Mia mencoba menahan tertawanya tapi tidak bisa. Istri saya kesal dan memasukkan surat itu ke dalam amplop lalu membantingnya ke meja. 

“Ibu tahu apa tujuan surat ini!”
“Tapi kan belum selesai dibaca, bagaimana Ibu tahu?”
“Seorang Ibu tahu apa yang…” 
“Ibu belum tahu?!”

“Ya.”
“Jangan begitu, berilah kesempatan surat itu bicara.”
“Nggak!”
“Kalau Ibu tidak mau membaca, biar aku membacanya.”
“Nggak!”
“Dalam hati saja.”

“Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Istri saya marah sekali, lalu berbalik hendak kembali ke dapur. Setelah ibunya pergi anak saya menggapai surat itu dan mulai membacanya dalam hati. Beberapa saat kemudian dia tersenyum lalu tertawa.

“Apa katanya!” teriak istri saya yang nongol kembali dari dapur sambil membawa pisau.
Anak saya menoleh.

“Ibu mau dengar?”
“Nggak!”
“Tapi ini betul!”
Mata istri saya membelalak. Dia menghampiri anaknya dengan kesal dan membentak.

“Apa yang betul?”
Anak saya tidak takut. Dia tidak pernah takut kalau merasa betul. Itu perbedan antara anak-anak di masa saya muda dibandingkan anak-anak sekarang. Mereka mungkin bukan kurang ajar, tetapi lebih berani memperjuangkan kebenaran yang memang selalu menakutkan orang tua.

Tak peduli ibunya marah, anak saya membaca dengan suara keras.
“Anakku, aku mengajarkan kaum perempuan bukan hanya menyadari hak-haknya tetapi juga kewajibannya. Berani tidak berarti kurang ajar. Bebas tidak berarti lepas. Kalau perempuan ingin dihormati dan dihargai, perempuan juga harus menghormati dan menghargai. Kalau pendapatan suami kurang jangan diejek, kalau suaminya sakit jangan dituduh malas, kalau suaminya perlu kemanjaan harus diladeni, kalau suami benar dan istri salah, istri harus mau dan berani mengaku salah lalu minta maaf.”

“Betul!” kata anak saya dengan spontan sambil melirik ibunya.
Istri saya terkejut dan sekarang benar-benar marah.
“Apa yang kamu bilang betul!?”

Mata istri saya yang sudah lelah bekerja seharian kelihatan membara. Anaknya, anak saya, anak kami, keder juga.

“Apa yang kamu bilang betul, ah? Ibu kamu ini tidak bisa menghargai bapak kamu?”
“Bukan!”
“Kalau begitu, kenapa betul?”
“Tapi….”
“Tapi apa!”

“Memang betul.”
“Betul apa!!!!!!”
“Betul dugaanku.”
“Dugaan apa! Jangan belat-belit! Dugaan apa? Ibumu tidak bisa mensyukuri? Ah?!!!!”

Anak saya menarik napas.
“Dugaanku betul, yang menulis surat ini pasti bapak.”
Istri saya menurunkan pisau yang secara tak sengaja terangkat karena emosinya memuncak.

“Kalau itu, memang betul!”
“Tidak salah lagi, surat kaleng ini ditulis oleh bapak!”
“Pasti!”

Ibu dan anak klop. Keduanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari bapaknya. Waktu itu saya sedang ada di beranda membaca koran. Pikiran saya terjepit oleh kelakuan Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan yang sudah menjadi warga negara Amerika. Ia membantai 33 mahasiswa Institut Politeknik Virginia. Di antara korban ada Partahi Mamora Halomoan Lumbantotuan (35 tahun), mahasiswa Indonesia lulusan Unpar.

“Bapak curang!” teriak anak saya sambil menarik koran yang saya pakai menyembunyikan muka.
“Curang?”

“Ya! Apa Bapak pikir perempuan itu lemah? Perempuan itu emosional? Perempuan itu ringkih seperti barang pecah-belah. Bapak pikir kami tidak mampu menerima kritik? Itu tahayul lelaki!”
Anak saya dan istri saya seakan-akan hendak melumat saya.

“Siapa bilang kalian lemah?”
“Habis, ini! Kenapa harus menulis surat kaleng seperti ini?!” kata anak saya sambil menjulurkan kedua surat dari Kartini itu. “Kalau Bapak punya unek-unek kan bisa bicara blak-blakan kepada kami? Masak menulis surat kaleng! Ini namanya tidak kesatria. Katanya Bapak bekas pejuang!”

Saya mengamati kedua surat Kartini itu.
“Apa susahnya bicara terus-terang, kita kan serumah. Kita kan satu tim. Mengapa mesti pakai memukul lewat belakang begini? Ini tidak fair, Pak!”

Saya diam saja, sebab tidak ada gunanya menjawab karena keduanya mau menumpahkan unek-unek.
“Kami tidak pernah tidak menghargai Bapak. Bapak saja yang tidak bisa membaca bahasa kami. Kami selalu mengerti dan memperhatikan Bapak, menurut kemampuan kami tentunya. Jangan menuntut kami memanjakan Bapak seperti raja-raja, sebab kita kan orang miskin. Kita orang kebanyakan. Dan Bapak juga bukan raja, meskipun Bapak laki-laki! Kasihan Ibu disindir-sindir terus! Kasihan saya dong!”

Anak saya hampir menangis. Saya tak bisa lagi berdiam diri.
“Dengerin, bukan hanya kalian, Bapak juga sudah menerima surat dari Raden Ajeng Kartini,” kata saya sambil berdiri, lalu cepat pergi ke kamar.
Saya kembali dengan kacamata baca dan selembar kertas. Langsung saja saya geber dan baca di depan mereka.

“Ini surat Raden Ajeng Kartini kepada Bapak. Dengerin. Anakku, jangan terkejut menerima surat Ibu ini. Ibu terpaksa menulisnya karena Ibu melihat perjuangan menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan sudah semakin membingungkan. Kalian, para lelaki selalu ketakutan dan menuduh, mengira kalau perempuan diberikan kesetaraan, keleluasaan, dan kebebasan, perempuan akan mijah dan menjadi kuda liar. Itu kecurigaan yang dibuat oleh ego lelaki yang takut kehilangan kekuasaan. Mengapa kalau ada perempuan sesat satu saja, seluruh kaum perempuan dicap ternoda. Sedangkan laki-laki, sudah jelas terkutuk, masih diangkat jadi pejabat! Itu tidak adil. Yang bejat itu kan oknum. Jangan salah! Kalau kaum perempuan mendapat haknya sekarang itu bukan karena kebaikan hati lelaki atau jasa lelaki. Bukan. Jangan sampai lelaki menyangka sudah menyedekahkan kebebasan pada kami. Tidak. Itu milik kami kok yang sudah lama diperkosa dan kalian kuasai. Malah kalian lelaki harus malu besar sebab baru mengembalikannya kepada kami sekarang. Kewajiban seorang lelaki, menemani perempuan sebagai mitra di dalam keluarga yang setara hak, kecerdasan, kesempatan, di samping juga kewajiban-kewajiban. Menghargai perempuan tidak perlu dengan memuja, karena perempuan bukan berhala seperti patung yang minta disembah. Perempuan memiliki hati dan perasaan yang memerlukan pengertian. Bukan materi, bukan kehormatan, bukan kebanggaan, bukan kemenangan, apalagi kekuasaan yang akan membahagiakan perempuan, tetapi kepercayaan yang diberikan dengan ikhlas. Kewajiban lelaki adalah mencari, menemukan, dan membuat pintu hati perempuan terbuka. Dan itu hanya bisa dengan cara menghargai! Tapi sorry, kebanyakan lelaki belum lulus itu. Kelas satu saja belum naik-naik sampai tua bangka seperti sekarang!”

“Betul!” potong istri saya sembari tertawa dan bertepuk tangan. “Baguslah kalau Raden Ajeng Kartini menulis begitu kepada Bapak, biar nyahok! Jadi sekarang Bapak mawas diri, mengerti, siapa dan di mana letak kesalahannya! Ya kan Mia?!”

“Memang betul. Masuk akal. Cukup logis, bagus, dan sampai maksudnya,” kata anak saya menambahkan. “Tetapi bagus dan betul saja tidak cukup. Misi yang baik jadi kurang nilainya kalau disampaikan dengan surat kaleng yang tidak jantan seperti ini. Maaf, Pak, tadi kami sudah keliru menuduh Bapak yang sudah menulisnya. Mungkin surat ini ditulis pacar Mia, atau siapa tahu Ibu Kartini sendiri. Siapa pun dia, kita hargai pikiran-pikirannya yang positif.”

Anak saya tertawa. Mukanya ceria. Istri saya juga. Apa yang lebih membahagiakan dari itu buat seorang lelaki? Keduanya kembali ke ruang dalam meninggalkan saya sendirian. Begitu mereka masuk ke pintu, saya cepat melipat kertas kosong yang saya baca tadi. ***

0 komentar:

Posting Komentar