SEORANG anak bertanya
kepada neneknya:
"Nenek,... itu apa?"
Perempuan tua itu
ternganga. Sebelum dia sempat membuka mulut, pertanyaan itu berkembang.
"Nenek punya...
tidak?"
Orang tua itu kontan
shock. Tetapi cucunya terus juga bertanya.
"Sekarang Nenek
punya berapa ...?"
Karena tak kuat menahan
kekurangajaran itu, nenek itu langsung pergi meninggalkan cucunya. Ia mengungsi
ke rumah tetangga.
Ketika anak dan
menantunya pulang, ia langsung melapor sambil menangis.
"Anakmu kurang
ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas, dan narkoba sudah membuat dia bejat.
Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit! Mau jadi apa dia nanti kalau
sudah besar? Setan?"
Menantu nenek, ibu anak
itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu langsung diberinya
hukuman.
"Kamu sudah kurang
ajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi, sampai moral
kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang tua itu adalah
asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh membuat orang
tua marah. Sekali lagi kamu kurang ajar, ibu kirim kamu ke desa! Tidak usah
membela diri!"
Anak itu tidak berani
menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia menghampiri bapaknya,
lalu kembali menanyakan
pertanyaan yang belum
terjawab itu.
"Pak, -- itu
apa?"
Bapak anak itu
terkejut. Cangklong yang sedang diisapnya sampai terlepas. Tetapi ia mencoba
tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:
"Rambut adalah mahkota
semua manusia..... itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana kamu keluar dan
ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian sakral. Karena itu
kamu tidak boleh mengutak-atik. Kamu
harus menghormatinya. Dan,berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk
dikupas tetapi dirasakan. Paham?!"
Anak itu tidak paham.
Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia mendekati ibunya yang sedang
menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.
"Tidak bisa!"
Anak itu tertegun.
"Aku tidak minta
duit. Aku hanya mau tanya, apakah – ibu besar? Sebab, kalau tidak besar
bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa meter?"
Merah padam muka
perempuan itu. Sedangkan tamunya,
ibu-ibu pejabat tak bisa menahan diri lalu tertawa sampai
terkencing-kencing."
Anakmu sakit jiwa,
karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk
bekerja dan menganggap
mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya sekarang!"
kata ibu anak itu
menyalahkan suaminya.
"Sekarang sebelum terlambat,
lebih baik kamu bawa dia ke dokter jiwa.
Kalau tidak akan jadi
apa anak ini! Akan jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya sudah kurang ajar
dan krisis moral?"
Bapak anak itu tidak
setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan lain. Ia membawa anak
itu ke kebun binatang.
"Kamu bertanya apa
itu mmk?"
bisiknya kepada
anaknya.
"Nah, itu dia yang
namanya mmk!"
Bapak anak itu menunjuk
kepada binatang-binatang yang ada di depannya.
Ada kuda, badak, harimau,
gajah, monyet."
"Itu yang namanya mmk.
Mengerti?!"
Anak itu terdiam. Tetapi
bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam perjalanan pulang ia kembali
bertanya.
"Apakah mmk itu
manis sehingga sering dijilat-jilat?"
"Bangsat!"
teriak bapak anak itu
di dalam hati.Ia membatalkan pulang, langsung membawa anaknya ke dokter jiwa.
"Dokter, anak saya
ini sudah bejat. Tolongdiperiksa apakah dia sudah d apat gangguan jiwa.
Sebabsegalanya sudah kami penuhi dengan berkecukupan.
Sandang, pangan, bahkan sekolah yang terbaik dan
termahal kami berikan.
Mengapa dia jadi tumbuh seperti setan begini?"
Dokter jiwa itu lalu
memanggil anak itu
masuk ke dalam kamar
periksa.
Dua jam kemudian dia
keluar.
"Bagaimana
Dok?"
"Saya kira anak
Bapak sehat walafiat."
"Maksud saya jiwa
dan moralnya?!"
"Ya, bagus. Saya
hanya ada nasihat kecil."
"Apa Dok?"
"Semua anak sampai
usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan objektif apa yang
ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari lingkungan dan orang
tuanya. Jadi.... "
"Jadi apa Dok?"
"Anak itu masih
punya ibu?"
"Ada di rumah,
kenapa Dok?"
"O, bagus kalau
begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada anak itu,
saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu. Makin cepat
makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."
Kontan bapak anak itu
pergi.
"Dokter
gila!"
umpatnya sambil membawa
anaknya pulang.
"Dasar mata
duitan, anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan para
elite politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh sebagai
penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"
Suhu politik memanas.
Para elite politik berperang. Dolar melambung tinggi. Persoalan itu untuk
sementara dibekukan. Tapi, beku tentu saja tidak berarti sudah berakhir.
Pertanyaan itu masih terus berkecamuk di kepala anak itu.
Di sekolah, menjelang
peringatan Hari Proklamasi ke-56, ketika guru sedang menceritakan tentang
hakikat kemerdekaan, anak itu terus dikejar-kejar oleh pertanyaan tersebut.
"Kemerdekaan
adalah sikap jiwa,"
kata ibu guru menerangkan
kepada murid-muridnya.
"Bila kemerdekaan kita
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
jangan dikira itu
terjadi begitu saja. Cita-cita kemerdekaan sudah berlangsung puluhan tahun.
Secara sporadis meledak di sana-sini yang dikategorikan sebagai pemberontakan
oleh kolonial. Akhirnya mendapat
kesimpulan pada tahun
1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, akhirnya mulai mendapatkan
perumusan pada 1928, pada saat ada ikrar Sumpah Pemuda. Jadi kemerdekaan itu
anak-anak, bukan hanya sebuah teriakan kebebasan, tetapi sebuah proses
penyadaran tentang kemandirian. Dengan merdeka berarti nasib kita terletak di
tangan kita sendiri. Dengan merdeka pada 17 Agustus 1945, tidak berarti kita
jadi langsung kaya raya dan bahagia. Dengan merdeka kita justru menjadi melihat
kemiskinan dan keterbelakangan kita. Kita melihat tanggung jawab kita. Dengan
merdeka kita terikat oleh berbagai aturan yang kita buat sendiri untuk membatasi
kemerdekaan kita agar bisa hidup bersama-sama. Merdeka adalah mendisiplinkan
diri kita sendiri supaya bisa bekerja dan bersaing. Kalau tidak ada
batasan-batasan, negeri ini akan jadi rimba dan memberlakukan hukum rimba, siapa
kuat dia yang kuasa. Siapa yang kuasa dia yang makan. Jadi, kemerdekaan
bukanlah kesempatan untuk berbuat sewenang-wenang. Kemerdekaan adalah
pengorbanan karena itu merupakan penyadaran kepada aturan-aturan dan
ketidakbebasan, yang kita sepakati dengan rela."
Bu guru selesai. Ia
memandang seluruh kelas.
"Ada yang belum
jelas? Siapa yang mau bertanya?"
Anak itu langsung
mengacungkan tangannya.
"Ya kamu. Apa yang
belum jelas?"
"Saya mau tanya,
Bu."
"Ya boleh.
Menanyakan apa?"
"Mmk itu
apa?"
Bu guru terhenyak.
Seluruh kelas yang semula tidur tiba-tiba terbangun. Kemudian terdengar suara
riuh rendah oleh ketawa. Kelas berubah
menjadi pasar.Bu guru mengetokngetokkan penghapus papan tulis ke mejanya dengan
keras.
"Tenang!!!"
Anak-anak langsung
mengunci mulutnya. Bu guru kemudian bertanya lagi.
"Apa?"
"Saya mau tanya,
mmk itu apa??"
Mata bu guru yang
cantik itu terbelalak. Seluruh kelas yangtadinya cekakakan, sekarang tiba-tiba
tegang. Bu guru menghampiri anak yang bertanya itu. Ia memandang tepat ke arah
matanya. Anak itu gugup lalu menundukkan mukanya.
"Ini pelajaran
sejarah kemerdekaan dan kamu bertanya tentang...."
"Mmk."
Seluruh keras bertambah
tegang.
Terdengar bisik-bisik.
Bu guru cepat melayangkan matanya ke seluruh keras sambil melotot. Semua murid
menunduk menyembunyikan dirinya. Tak seorang pun kelihatan mau hadir. Hanya
anak itu yang masih mengangkat kepalanya.Bu guru menghampiri anak itu, lalu
menatap tajam seperti menusuk jiwanya.
"Jadi itu yang
buat kamu belum jelas?"
"Ya."
"Kamu bertanya
karena kamu tidak tahu atau?"
"Karena saya
bingung."
"Kamu bingung
karena kamu ingin tahu?"
"Karena jawabannya
tidak tegas sehingga tidak jelas."
Pensil ditangan bu guru
jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh
anak-anak di dalam
kelas, berdiri, menjulurkan kepalanyadan melihat apa yang jatuh. Tiba-tiba bu
guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang sampai ke bawah ia telanjang bulat.
"Mmk itu
ini!"
katanya dengan tegas
sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya. Seluruh kelas meledak. Anak-anak
perempuan menjerit dan menangis. Yang laki-laki meloncat, lari ketakutan keluar
kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti disiram air panas. Seluruh
tubuhnya tegang dan kemudian basah. Peristiwa itu dicatat sekolah sebagai
huru-hara yang memalukan. Ibu guru yang cantik itu langsung dipanggil oleh Kepala
Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes. Mereka menuntut supaya bu
guru itu dipecat. Dan malammalam, rumah bu guru itu berantakan karena dilempari
batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman mengerikan menghujani
rumahnya. Akhirnya Bu Guru MMK itu dipecat. Tapi sebagian masyarakat,
berdasarkan polling yang dilakukan oleh media massa, menganggap hukuman itu
belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru yang bejat itu hengkang dari
permukiman mereka. Dan, ketika yang bersangkutan akhirnya boyongan pindah ke
kota lain, karena tidak mau mengganggu
ketenteraman, di luar kota mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa, dan kemudian
dicampakkan ke tepi jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Di sebuah desa kecil
yang terpencil dan sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak bernama.
Anak yang bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di
sampingnya, kedua orang tuanya berdiri menemani.
"Terima kasib Bu
Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak bertanya
lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk menjelaskan satu
kata saja, diperlukan sebuah nyawa."
TAG
Cerpen
0 komentar: