SEBUAH
BANGKU. BEBERAPA ORANG TUA DUDUK-DUDUK DIBANGKU ITU BERJEMUR SEPERTI
MENUNGGU GILIRANNYA UNTUK MATI. KEDEKAT ORANG–ORANG ITU, MUNCUL
SESEORANG MEMEGANG BUNTALAN PANJANG. IA MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG TUA
ITU. ORANG-ORANG TUA ITU MENYISIHKAN SEDIKIT TEMPAT. ORANG ITU LALU
DUDUK. IA MELETAKKAN DI PANGGKUANNYA BARANG YANG TERBALUT KORAN ITU. IA
NAMPAK SAKIT-SAKITAN TAPI SEDANG BERSIAP UNTUK MELAKSANKAN TUGASNYA.
KEMUDIAN IA MULAI BICARA KEPADA ORANG-ORANG TUA ITU, SEAKAN – AKAN ITU
SUDAH SERING DILAKUKANNYA. ORANG –ORANG TUA ITU MULA-MULA ACUH TAK ACUH
DAN DINGIN TETAPI LAMA-LAMA PENUH PERHATIAN MENDENGARKAN.
Seperti setiap orang miskin
yang lain aku punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung Karno,
aku gantungkan cita-cita setinggi langit. Aku panggil dalam mimpi. Aku
gunjingkan setiap kali. Kemudian aku kejar. Aku kejar sampai
babak-belur, jatuh bangun, nafasku sering tercekik. Tapi apa lacur,
tanganku tidak memegang apa-apa. Bahkan menyentunya pun tak sempat.
Seperti
kebanyakan orang lemah yang lain, aku bingung ketika sampai dipinggir
kali besar yang deras dan terjal, karena tak ada jembatan. Apa daya
tidak ada alat penyeberangan. Sementara aku tak punya keberanian untuk
meloncat untung-untungan karena tenagaku terbatas, aku tidak percaya aku
mampu sebab aku tidak bisa berenang.
Seperti puluhan juta orang
lain yang gagal, aku membuat keputusan yang tidak aku sukai. Aku angkat
tangan dan melambai kepada cita-cita yang tak mampu aku wujudkan itu.
Air mataku lepas dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kakiku
luka-luka. Di dalam bathinku ada borok yang membuat aku amat malu.
Seperti
orang-orang kalah yang lain, aku berbalik. Pulang kembali kerumah tapi
dirumah rasanya amat kosong, miskin dan hina. Setiap kali mata aku
tutupkan, hatiku hancur. Hidup sudah berakhir, tapi aku mesti
melanjutkannya. Dalam keadaan yang tak berdaya itu, aku jadi menyerah.
Pasrah karena tidak ada lagi jalan lain. seperti sepotong pecahan kayu
aku ikuti aliran sungai yang membawaku ke tepi laut.
Aku
membunuh cita-citaku lalu menjadi satpam dalam pabrik-pabrik milik
seorang bangsat besar. Gajiku besar. Setiap hari aku memakai pakaian
seragam. Membawa tugas-tugas yang tidak boleh dipertanyakan.
Melaksanakan seluruh kebijaksanaan yang sudah digariskan. Menjadi seekor
anjing pengawal yang harus menggonggong apa saja yang merongrong. Dan
memegang sebuah senjata, untuk mengamankan seeluruh tugas-tugas
tersebut. Aku diperintahkan menembak, membunuh sungguh-sungguh bukan
sekedar menakut-nakuti.
Ketika
anakku lahir, cita-cita yang sudah aku kubur itu kembali lagi. Kata
orang, anak menjadi perpanjangan usia kita. Dengan anak, kita memiliki
sebuah galah, untuk menjangkau buah ranum. Dengan anak ditangan aku
tumbuh lagi. Nyawaku ditarik untuk melindungi, membesarkannya dan
menjadikannya manusia berguna. Cita-cita yang menggoda kembali itu tidak
kubiarkan menjamahku. Aku persilahkan dia datang untuk anakku. Anak itu
aku persiapkan baik-baik. Makanannya diatur. Pendidikannya diluruskan.
Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan. Tidak sebagaimana
orang tuaku dulu, yang tidak membantu mempersiapkanku mencapai cita-cita
karena tidak mampu. Aku latih anakku, bukan saja untuk menggantunngkan
cita-citanya lebih tinggi dari langit, teapi juga untuk meloncat,
menerkam dan merebut cita-cita itu. Ia harus garang melompati sungai
yang tak berhasil kusebrangi. Dia harus menjadi manusia yang sukses
Aku
tuturkan kepadanya dongeng –dongeng kejayaan orang besar. Baaimana
Hannibal menaklukkan pucak Alpen. Bagaimana gajah mada mempersatukan
nusantara. Bagaimana Oom Lim Sioe Liong bisa berhasil menjadi orang kaya
raya. Bagaimana pak habibie menjadi orang terkemuka dengan puluhan
jabatan. Bagaimana pak Harmoko menjabat menteri penerangan sampai tiga
kali sekaligus merangkap ketua umum Golkar.
Tapi
tidak hanya itu. Aku juga berterus-terang menceritakan
kegagalan-kegagalanku sendiri. Kenapa aku sampai tumbang, padahal
cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.
Setiap
hari aku ajarkan kepadanya bahwa kerja, kerja, kerja adalah nomor satu.
Bahwa belajar, belajar, belajar, juga nomor satu. Semua yang
bagus-bagus nomor satu. Meskipun nasib juga nomor satu. Anak itu tidak
boleh bernasib seperti aku, bapaknya. Dia harus menembus nasib. Dia
harus melesat meninggalkan rumah kami yang kumuh dan hina. Dia harus
menjadi seorang pahlawan.
Setiap
malam kalau sudah sepi dan anak itu tidur pulas, aku dan istriku
memandanginya dengan takjub. Memang benar, anak itu adalah harta karun.
Ia telah membuat aku bersemangat lagi bekerja meskipun usia sudah
menjadi manula. Dia seperti matahari di dalam rumah kami.
Barangkali
sebenarnya anak itu tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti
aku, bapaknya. Ia mungkin hanya tidak sanggup untuk menanggung semua
mimpi-mimpi yang terlalu besar itu untuk menjadi kenyataan. Karena ia
sendiri memiliki mimpi. Dan mungkin sekali mimpinya itu amat berbeda
bahkan bertentangan dengan mimpiku. Aku tidak tahu, sebab aku tidak
pernah menanyakannya. Ia juga tidak pernah mengatakannya. Ia hanya
memandang kepada aku, dengan mata kosong, acuh-tak acuh dan mungkin
sekali benci atau jijik.
Ketika
ia rontok dari sekolah, seharusnya aku mulai sadar bahwa ia bukan
seorang pahlawan. Tetapi waktu itu, aku lebih banyak menyalahkan guru.
Aku anggap bukan anak itu yang bodoh, tetapi gurunya yang malas. Sistem
pendidikannya yang buruk sehingga sehingga membuat seorang jenius sudah
mati kutu. Lalu aku datangi sekolah itu. Guru-gurunya aku sumpahi
habis-habisan. Demi keselamatan anakku, aku cabut dia dari sekolah itu
lalu aku didik sendiri di rumah.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, payah. Jabatanku yang terus bertambah, tanggungjawabku yang makin njelimet,
waktuku yang selalu habis dalam tugas, membuatku juga jadi orang yang
tidak mampu. Meskipun aku bisa membebaskan anak itu dari sekolah, aku
tidak berhasil mengisinya dengan pengetahuan. Aku terlalu sibuk.
Akhirnya anak itu dididik oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawanya
sendiri.
Aku
masih ingat sekali, seperti baru kemaren sore, pada suatu pagi, aku
dijemput ke tempat pekerjaan oleh istriku. Ia menangis tersedu-sedu.
Lalu melaporkan bahwa anak itu, sudah menjadi haram jadah. Ia berguru
kepada bandit-bandit mantan penghuni penjara Nusa Kambangan. Ia menjadi
bandit bandar obat terlarang. Tak segan-segan merampok, membunuh, dan
memperkosa.
Aku
langsung diam disarangnya. Aku menceritakan kepadanya bahwa tidak semua
pekerjaan adalah pekerjaan, pekerjaan yang membawa keruntuhan moral,
kebejatan akhlak, dan kematian orang lain, adalah kejahatan. Dan semua
bentuk kejahatan bukanlah pekerjaan, tetapi dosa.
Anak itu hanya tertawa. Ia sudah sakit. Jiwanya sudah terganggu. Semakin diberi nasihat, ia semakin sesat.
Aku
marah lagi kepada guru-guru. Kepada sekolah yang sudah tak berhasil
mendidik anakku. Aku datangi sekolah itu dan menunjukan kepada semua
orang, bahwa itulah akibat dari satu sistem pendidikan yang ngawur.
Meskipun diam-diam didalam hati, aku membantah sendiri apa yang sudah
aku katakan. Karena seandainya aku tidak memasukan anakku kesekolah itu,
mungkin ia sudah lebih awal bejat.
Aku
frustasi. Kini anakku bukan lagi harapan, tetapi hukuman. Aku sudah
dikhianati oleh cita-citaku sendiri. Aku dimakan dari dalam sedikit demi
sedikit. Aku tidak boleh membiarkan semua itu. Aku tidak boleh
melepaskan cita-cita yang tiba-tiba menghampiri sendiri setelah lenyap.
Aku tidak boleh membiarkan anak itu menjadi kecoa, karena aku bapaknya.
Sebagai orang tua aku bertanggungjawab untuk menjadikannya pahlawan. Aku
harus menjadi juru selamatnya.
Aku
ingin kamu menjadi orang bukan binatang. Jadilah sekali ini saja
seorang yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Sesudah itu, terserah apa
yang ingin kamu lakukan, karena hidupmu adalah milikmu. Aku tidak minta
kamu kembali kesekolah. Aku tidak minta kamu pergi ke psikiater lagi.
Aku tidak akan minta kamu menuruti semua kata pak guru. Aku hanya minta
besok, kamu datang kedepan pabrik tempat untuk kerja. Berdiri didepan
kantor bersama buruh-buruh yang lain. besok akan terjadi sebuah
demonstrasi besar-besaran, untuk menentang upah dibawah upah minimum
yang selama ini sudah dipraktekan perusahaan.
Datanglah
kesana. Ikutlah bersorak bersama orang-orang itu, untuk menuntut
kebijaksanaan baru. Teriakan apa saja yang mereka teriakan, walaupun
kamu tidak mengerti. Serukan keadialan bersama-sama mereka disitu, lebih
keras dari mereka, walaupun kamu tidak tahu apa itu keadilan. Tunjukan
kepada orang lain, bahwa kamu itu berguna. Kamu mampu menentang bapakmu.
Sekali ini saja supaya aku bangga.
Esok
paginya ia muncul bersama-sama orang-orang yang berdemonstrasi untuk
menegakan hak-hak azasi itu. Sebenarnya bukan untuk memenuhi
permintaanku, tetapi justru untuk menghinaku. Aku lihat dari jendela
pabrik, ia berdiri didekat tukang rokok tersenyum dan tertawa-tawa.
Ditangannya lintingan ganja yang berkali-kali disedotnya dengan nikmat.
Aku yakin ia sudah dalam keadaan teler berat. Sementara disekitarnya
para buruh pabrik yang sedang memperjuangkan hidup matinya dengan
beringas mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang memaki-maki
kesewenang-wenangan perusahaan dan pemilik pabrik yang sudah
menginjak-injak nasib mereka puluhan tahun. Dengan garang mereka
menentang para petugas yang menghadang dengan senjata terhunus.
Sekali-sekali anakku mengangkat tangan dan meneriakan kata-kata kotor.
TERDENGAR SORAK SORAI ORANG-ORANG YANG BERDEMONSTRASI. GEGAP GEMPITA DENGAN YEL-YEL YANG DAHSYAT.
LELAKI
TUA ITU MENUNGGU SAMPAI KERAS BENAR. KEMUDIAN PERLAHAN-LAHAN IA MEMBUKA
BUNGKUSAN YANG DIBAWANYA. TERNYATA SEBUAH SENAPAN. IA MEMASUKAN PELURU
KEMUDIAN MEMANDANG. SKALI LAGI BERDOA.
Ya
Tuhan, aku minta ampun kepadamu Tuhan. Aku lakukan semua ini untuk
kebaikannya. Aku terima seluruh dosa-dosaku untuk semua ini. Tetapi
izinkanlah aku menjadikan anak itu seorang pahlawan.
YEL
ITU SEMAKIN GEGAP GEMPITA. KEMUDIAN IA MEMBIDIK. SETELAH TEPAT BENAR IA
MELEPASKAN TEMBAKAN. DOR. MENDADAK SEMUANYA SEPI. IA MEMBUNGKUS
SENJATANYA LAGI, LALU BERDIRI. SEMUA BENGONG MENATAPNYA. IA MENARIK
NAFAS. SEBELUM PERGI, IA BERBISIK.
Tembakan itu luput, melempas membunuh tukang rokok. Karena itu aku tidak berhasil menjadi pahlawan seperti yang diharapkannya.
ORANG
ITU PERGI. ORANG-ORANG TUA ITU MENOLEH SATU SAMA LAIN, SEPERTI
MENCOCOKAN PERASAANNYA, TETAPI TIDAK MENGATAKAN APA-APA, KEMUDIAN MEREKA
MEMPERHATIKAN ORANG ITU MENJAUH. DIANTARANYA ADA YANG MELAMBAI. ADA
JUGA YANG MENANGIS, SEAKAN-AKAN BERCERITA TENTANG USAHANYA YANG GAGAL.
0 komentar: