Cerpen Putu Wijaya "Roh"

Setiap kali ada yang berulang tahun, Roh selalu ingin meneteskan air mata. Diam-diam ia memalingkan mukanya di depan penggorengan dan menghapusnya dengan ujung kebaya. Kalau nyonya rumah memergokinya, ia selalu mengatakan matanya berair karena asap. Tetapi sekali ini, ketika cintanya baru saja ditepiskan oleh anak muda supir baru tuanya, ia tak bisa bertahan lagi. Sambil tetap memegang sendok penggoreng, ia memandang muka majikannya sambil sesegukan.
“Nasib orang rupayan memang tak sama Nyonya,” katanya, “tapi saya rasa kok saya sendiri berat amat harus ditanggung. Kadang-kadang saya tidak kuat menahan semua ini. Karena saya hanya perempuan, saya hanya bisa menangis saja Nyonya,”
Nyonya majikannya hanya tersenyum. Ia paham benar apa sebenarya yang terjadi. Ganjalan apa yang menggeletak di belakang duka itu. Sambil menyembunyikan perasaan gelinya, ia membujuk.
“Kamu ini kenapa sih Roh? Mungkin kamu kangen kampung halamanmu. Atau barang kali ibumu sakit di sana? Kan udah lama juga tidak pulang. Kalau mau istirahat dulu, pergilah seminggu dua minggu, mungkin kamu sudah terlalu capek.”
Tangis Roh makin deras.
“Buat apa pulang Nyonya, di sini saja saya sudah seneng. Lebih seneng daripada di desa. Saya tidak capek kok. Hanya saya saja yang terlalu banyak pikiran.”
“Banyak pikiran apa Roh? Kamu ini ada-ada saja. Apa lagi yang harus dipikirkan.”
Yang sudah ya sudah. Apa-apa diterim. Kalau sudah dicoba tidak bisa buat apa-apa dipaksakan. Itu tidak baik. Hidup yang enak saja. Jangan ngoyo.”
“Betul juga Nyonya,” kata Roh sambil nydiduk isi penggorengan dan kemudian menghapus air matanya. “Saya tidak mau hidup ngoyo. Saya mau nrimo saja. Memang saya sudah nrimo, tapikan tidak bisa terus menerus. Tiap hari, ya katakanlah tiap bulan rasanya ada yang ulang tahun, saya jadi malu. Lho saya ini bagaimana. Saya ini kok tidak ikut serta seperti mereka”?
Nyonya terkejut.
“Ulang tahun? Ulang tahun apa?” tanyanya dengan herwan.
Roh kini memeras ingus yang ada di hidungnya. Sudah itu ia duduk sengaja menghentikan pekerjaannya sebentar. Rupanya ingin menunjukkan kesungguhan penderitaannya.
“Begini Nyonya. Coba saja putra-putra Nyonya, Nyonya sendiri selalu menasehati saya supaya menerima kenyataan. Lebih mudah hidup  dengan menerima kenyataan. Begitu Nyonya bukan? Barangkali Nyonya sudah lupa.”
“Tidak aku tidak ingat, memang harus begitu. Tapi tadi kau bilang ulang tahun. Maksudmu bagaimana?”
“Yak an, Nyonya coba saja putra-putri Nyonya, Nyonya sendiri, Tuan, tetangga-tetangga, si Dul supir tuan yang baru itu, sampai-sampai si iyem, Mariah, Tuminah, dan Kathijah ituloh pembantu baru Tuan Muin. Semuanya, semuanya saban-saban berulang tahun Nyonya. Saya sendiri, saya sendiri…?”
Mata Roh kembali meneteskan air. Nyonya majikannya terpesona. Ia memandangi pembantunya dengan terharu. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa telah menyayangkan yang bukan-bukan.
Jadi rupaynya” katanya dalam hati terharu.
“Jadi jelek-jelek saya begini, saya juga ingin sekali-sekali berulang tahun Nyonya,”  sambung Roh kemudian.
Nyonya itu mengangguk. Hampir saja ia tak bisa menahan air matanya sendiri. Tiba-tiba seperti hendak memberondong. Ia memalingkan muka lalu begitu saja teringat bahwa mungkin jutaan orang Indonesia lain yang tak pernah sempat merayakan ulang tahunnya. Setelah agak tenang ia memalingkan mukanya kepada Roh.
“Kapan ulangtahunmu Roh”
Pertanyaan itu seakan membanting Roh. Ia gemetar dan air matanya makin ramai keluar. Ambil sesegukan ia menjawab.
“itulah Nyonya, itulah-itulah, saya tidak tahu, itulah kenapa saya tidak tahu tidak ada yang memberi tahu kapan ulang tahun saya. Tapi mestinya saya punya juga.
“Umurmu berapa sekarang?”
Roh seakan tak mendengar kata-kata majikannya , ia terus mengeluh.
“Nyonya tahu sendiri saya lahir di des. Itulah Nyonya, itulah tidak enaknya punya orang tua buta huruf. Tidak ada yang mencatat kapan ulang tahun saya. Mereka hanya mengatakan saya lahir subuh, subuh, putri fajar katanya. Tapi kapan? Kapan? Saya sendiri mana tahu kapan, kalau orang tua saya tidak tahu? Mereka hanya bilang sesudah Jepang pergi. Kapan itu Jepang pergi Nyonya mestinya Nyonya dan Tuan mengerti. Mungkin Nyonya bisa tahu.”
Bersambung….

0 komentar:

Posting Komentar