Setiap
kali ada yang berulang tahun, Roh selalu ingin meneteskan air mata.
Diam-diam ia memalingkan mukanya di depan penggorengan dan menghapusnya
dengan ujung kebaya. Kalau nyonya rumah memergokinya, ia selalu
mengatakan matanya berair karena asap. Tetapi sekali ini, ketika
cintanya baru saja ditepiskan oleh anak muda supir baru tuanya, ia tak
bisa bertahan lagi. Sambil tetap memegang sendok penggoreng, ia
memandang muka majikannya sambil sesegukan.
“Nasib
orang rupayan memang tak sama Nyonya,” katanya, “tapi saya rasa kok
saya sendiri berat amat harus ditanggung. Kadang-kadang saya tidak kuat
menahan semua ini. Karena saya hanya perempuan, saya hanya bisa menangis
saja Nyonya,”
Nyonya
majikannya hanya tersenyum. Ia paham benar apa sebenarya yang terjadi.
Ganjalan apa yang menggeletak di belakang duka itu. Sambil
menyembunyikan perasaan gelinya, ia membujuk.
“Kamu
ini kenapa sih Roh? Mungkin kamu kangen kampung halamanmu. Atau barang
kali ibumu sakit di sana? Kan udah lama juga tidak pulang. Kalau mau
istirahat dulu, pergilah seminggu dua minggu, mungkin kamu sudah terlalu
capek.”
Tangis Roh makin deras.
“Buat
apa pulang Nyonya, di sini saja saya sudah seneng. Lebih seneng
daripada di desa. Saya tidak capek kok. Hanya saya saja yang terlalu
banyak pikiran.”
“Banyak pikiran apa Roh? Kamu ini ada-ada saja. Apa lagi yang harus dipikirkan.”
Yang
sudah ya sudah. Apa-apa diterim. Kalau sudah dicoba tidak bisa buat
apa-apa dipaksakan. Itu tidak baik. Hidup yang enak saja. Jangan ngoyo.”
“Betul
juga Nyonya,” kata Roh sambil nydiduk isi penggorengan dan kemudian
menghapus air matanya. “Saya tidak mau hidup ngoyo. Saya mau nrimo saja.
Memang saya sudah nrimo, tapikan tidak bisa terus menerus. Tiap hari,
ya katakanlah tiap bulan rasanya ada yang ulang tahun, saya jadi malu.
Lho saya ini bagaimana. Saya ini kok tidak ikut serta seperti mereka”?
Nyonya terkejut.
“Ulang tahun? Ulang tahun apa?” tanyanya dengan herwan.
Roh
kini memeras ingus yang ada di hidungnya. Sudah itu ia duduk sengaja
menghentikan pekerjaannya sebentar. Rupanya ingin menunjukkan
kesungguhan penderitaannya.
“Begini
Nyonya. Coba saja putra-putra Nyonya, Nyonya sendiri selalu menasehati
saya supaya menerima kenyataan. Lebih mudah hidup dengan menerima
kenyataan. Begitu Nyonya bukan? Barangkali Nyonya sudah lupa.”
“Tidak aku tidak ingat, memang harus begitu. Tapi tadi kau bilang ulang tahun. Maksudmu bagaimana?”
“Yak
an, Nyonya coba saja putra-putri Nyonya, Nyonya sendiri, Tuan,
tetangga-tetangga, si Dul supir tuan yang baru itu, sampai-sampai si
iyem, Mariah, Tuminah, dan Kathijah ituloh pembantu baru Tuan Muin.
Semuanya, semuanya saban-saban berulang tahun Nyonya. Saya sendiri, saya
sendiri…?”
Mata
Roh kembali meneteskan air. Nyonya majikannya terpesona. Ia memandangi
pembantunya dengan terharu. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa telah
menyayangkan yang bukan-bukan.
“Jadi rupaynya” katanya dalam hati terharu.
“Jadi jelek-jelek saya begini, saya juga ingin sekali-sekali berulang tahun Nyonya,” sambung Roh kemudian.
Nyonya
itu mengangguk. Hampir saja ia tak bisa menahan air matanya sendiri.
Tiba-tiba seperti hendak memberondong. Ia memalingkan muka lalu begitu
saja teringat bahwa mungkin jutaan orang Indonesia lain yang tak pernah
sempat merayakan ulang tahunnya. Setelah agak tenang ia memalingkan
mukanya kepada Roh.
“Kapan ulangtahunmu Roh”
Pertanyaan itu seakan membanting Roh. Ia gemetar dan air matanya makin ramai keluar. Ambil sesegukan ia menjawab.
“itulah
Nyonya, itulah-itulah, saya tidak tahu, itulah kenapa saya tidak tahu
tidak ada yang memberi tahu kapan ulang tahun saya. Tapi mestinya saya
punya juga.
“Umurmu berapa sekarang?”
Roh seakan tak mendengar kata-kata majikannya , ia terus mengeluh.
“Nyonya
tahu sendiri saya lahir di des. Itulah Nyonya, itulah tidak enaknya
punya orang tua buta huruf. Tidak ada yang mencatat kapan ulang tahun
saya. Mereka hanya mengatakan saya lahir subuh, subuh, putri fajar
katanya. Tapi kapan? Kapan? Saya sendiri mana tahu kapan, kalau orang
tua saya tidak tahu? Mereka hanya bilang sesudah Jepang pergi. Kapan itu
Jepang pergi Nyonya mestinya Nyonya dan Tuan mengerti. Mungkin Nyonya
bisa tahu.”
Bersambung….
0 komentar: