Cerpen Putu Wijaya "JENGGO"

Putra tunggal Pan Jenggo mau masuk ABRI. Pan Jenggo dengan bangga mengumumkan itu pada para tetangga. Ia sendiri mengaku pernah gagal masuk ABRI karena matanya jereng sebelah.
”Maka Jenggo sekarang harus jadi ’balas dendam’ saya!” kata Pan Jenggo.

Tetapi, istrinya sendiri tak setuju. Men Jenggo lebih sreg, Wayan Jenggo membantu jaga warungnya. Karena itulah sumber utama nafkah keluarga.

”Saya sendiri sudah kena rematik, susah untuk meneruskan ngurus warung. Sementara bapak kan seniman pengangguran yang merasa berdagang itu pekerjaan jahat. Ia memang suka perang, tapi sebatas nonton film. Sejatinya ia penakut. Itu sebabnya ia memaksa anaknya jadi pahlawan.”

Men Jenggo lantas konsultasi ke Bu RT. Meminta petunjuk bagaimana caranya supaya suaminya berhenti memaksa Jenggo memanggul senjata.

”Saya setuju dengan Bu RT, menjadi pahlawan itu bisa dengan banyak cara. Jaga warung sumber nafkah keluarga, misalnya. Atau jadi warga yang baik, tidak ikut-ikutan narkoba. Kenapa harus jauh-jauh mencari kepahlawanan kalau di depan mata saja sudah ada wadahnya?”

Bu RT langsung lapor suaminya.

”Saya heran, Pak, Jenggo itu kan orangnya lemah-lembut. Jangankan berperang, bunuh nyamuk pun ia tidak mau, kalau tidak terlalu perlu. Bagaimana bisa memanggul senjata, lihat, memanggul pacul kalau masyarakat lagi kerja bakti saja, ia sering diketawain, karena kelihatan kikuk!”

”Betul.”

”Kenapa Pan Jenggo mau anaknya jadi tentara?”

”Supaya Jenggo jadi laki-laki sejati!”

”Maksud Bapak?”

”Aduh, ibu masak tidak tahu, Jenggo itu kan banci!”

Bu RT tertegun.

”Jadi Pan Jenggo mau menterapi anaknya supaya jadi laki-laki normal dengan memaksanya memanggul senjata?”

”Betul! Tapi mana mungkin banci diterima jadi tentara!”

Bu RT menarik napas lega. Karena itu berarti Jenggo akan selamat dan bisa jaga warung ibunya. Tetapi, setelah berpikir, ia terkejut.

”Tapi, kalau Jenggo ditolak jadi tentara, apa itu tidak akan membuat Pan Jenggo kecewa dan Jenggo sendiri minder, Pak? Karena naga-naganya Nak Jenggo sendiri juga begitu bersemangat akan bisa panggul senjata?!”

”Ya, itulah!”

”Kalau begitu, cepat dong temui Pan Jenggo. Ajak ngomong, kasih masukan. Kasihan. Mereka kan keluarga baik-baik dan cs kita!”

Pak RT tak menjawab. Tapi esoknya ia menemui Pan Jenggo.

”Bagaimana? Jadi memasukkan Wayan jadi ABRI, Pak?”

Beda dari sebelum-sebelum

nya, Pan Jenggo menunduk sedih. Ia tak bisa berbohong kepada Pak RT.

”Kelihatannya, tidak mungkin, Pak RT.”

”Kenapa?”

”Pak kan tahu sendiri. Anak saya Wayan itu banci.”

Pak RT terkejut sekaligus trenyuh. Ia tak menduga sahabatnya itu akan ngeceplos begitu blakblakan. Ia hampir tak tahu harus bilang apa.

”Jadi batal?”

”Ya iyalah, daripada malu karena ditolak, lebih baik mundur teratur. Kecuali kalau nanti dapat koneksi.”

”O, jangan. Dimulai dengan yang tidak baik, hasilnya hanya akan remuk!”

Pan Jenggo termenung.

”Betul, hanya masalahnya Wayan sendiri juga sudah ngebet sekali jadi tentara, Pak RT.”

Pak RT heran, nyaris tak percaya.

”Masak? Jenggo sendiri yang ingin jadi tentara? Bukannya dulu Pak yang sudah mendesaknya?”

Pan Jenggo menghela napas panjang, lalu menatap.

”Mula-mula memang begitu, Pak RT. Saya ini kan lacur. Punya anak hanya satu, kok banci. Nanti siapa melanjutkan keturunan? Saya terpaksa cari second opinion ke balian. Dia nyuruh saya memasukkan Wayan jadi tentara, supaya jadi jantan. Istri saya yang pertama-tama menentang. Saya tidak peduli. Eh, lama-lama dia menyerah juga. Entah konsultasi dengan siapa, dia mendadak setuju dengan anjuran dukun. Dia izinkan saya memaksa anaknya jadi tentara, supaya jadi laki-laki sejati. Sudahlah sekarang terserah Bapak, saya pasrah, katanya. Mau diapain saja Wayan, yang penting Wayan tidak ngambul, lari dari rumah seperti Sobrat itu. Istri saya berbalik begitu mungkin karena melihat sekarang tidak ada kemungkinan Perang Dunia Ketiga akan meletus. Jadi tidak ada bahayanya anak kami jadi tentara. Asal nanti setelah jadi ABRI, Wayan harus ikut di barisan musik saja. Pegang alat kecret-kecret asal-asalan juga tidak apa-apa, yang penting bukan bedil. Tidak dibunuh dan tidak membunuh. Begitu, Pak.”

”Wah, ibu pintar juga, taktiknya!”

”Ya, saya jadi terharu juga. Baru ingat, bahwa daripada jadi pahlawan tapi mati, anak semata wayang lebih baik hidup, Pak RT. Meskipun nanti pangkatnya balok terus sampai tua, tidak naik-naik karena tidak pernah ikut berperang. Tapi kemudian kembali ada masaalah. Ada lagi yang bilangin saya, anak tunggal tidak diperkenankan masuk militer. Betul itu, Pak RT?”

”Saya kira itu masuk akal.”

”Nah, itu bikin masalah baru. Bagaimana kalau Wayan ketahuan anak tunggal? Terpaksa lagi saya putar otak, lalu memutuskan: sebelum ditolak, lebih baik mundur teratur daripada hancur-lebur. Tapi begitu saya mau mundur, istri saya marah, mendesak: Jenggo harus masuk militer!!”

Pak RT kaget

”Masak?”

”Ya!”

”Kenapa?”

”Katanya, anaknya sendiri yang menangis-nangis supaya diizinkan jadi tentara. Bahkan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang.”

Pak RT tertegun. Ia tak berani melanjutkan percakapan. Merasa itu sebagai bagian dari misteri perempuan, ia mendesak istrinya bertanya-tanya kepada Men Jenggo.

”Apa betul, Wayan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang masuk jadi tentara, Bu?”

Menurut Bu RT, betul.

”Sebenarnya saya juga mula-mula tak percaya juga, Pak. Baru setelah Men Jenggo menunjukkan surat ancaman yang ditulis Jenggo, saya percaya. Surat itu ditandatangani dengan cap jempol berdarah.”

Pak RT terperanjat.

”Cap jempol berdarah?”

”Ya.”

”Darah asli atau tinta merah atau darah ayam?”

”Katanya darah asli tangan Jenggo sendiri!”

”Katanya? Jadi surat ancaman itu, Ibu tidak lihat sendiri alias hanya omongan Men Jenggo.”

”Tapi kata Men Jenggo, sudah pasti itu darah Jenggo asli. Sekarang sebaiknya Bapak cepat bertindak. Orang begitu kan susah dikendalikan kalau sudah emosi. Cepat, Pak, jangan sampai terlambat, mereka kan warga kita.”

Akhirnya Pak RT langsung menemui Jenggo. Ia tak merasa mampu bicara dengan ibunya. Karena dengan Jenggo, ia bisa tembak langsung.

”Coba lihat jempolmu, Wayan.”

Jenggo menunjukkan jempol kanannya yang ditensoplas. Pak RT mengangguk.

”Jadi betul kamu mengancam mau bunuh diri kalau dilarang jadi tentara?”

Jenggo tak berani membantah.

”Betul, Pak.”

”Kenapa?”

”Saya ingin jadi pahlawan.”

Pak RT menahan tertawa.

”Pahlawan?”

Tiba-tiba suara Jenggo menanjak.

”Ya! Apa salahnya orang banci jadi pahlawan?!!”

Pak RT betul-betul kaget. Tak menyangka anak yang lembut itu bisa galak. Seakan kesabarannya telah habis. Hatinya yang tampak luluh membuat Pak RT sedih.

Protes Jenggo, lamat-lamat bagai salak anjing di kejauhan di malam sepi. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Tapi, itu justru menimbun simpati. Entah sudah berapa tebal marah, tangis, rasa terhina yang ditahan-tahannya.

Beberapa lama Pak RT membisu. Ia tak mampu menggoyang keharuannya. Sebab ia kenal Wayan sejak bayi. Anaknya lucu, manis, dan baik budi. Kini ia sudah mulai terluka oleh lingkungan yang tak bisa menerimanya.

Akhirnya Pak RT minta maaf.

”Maaf Wayan, bukan itu maksud, bapak. Tidak seorang pun berhak melarang siapa pun yang ingin menjadi pahlawan. Kalau itu memang cita-citamu, itu cita-cita yang luhur. Kejarlah, berjuanglah dengan seluruh jiwa-ragamu jadikan kenyataan. Berhasil atau gagal itu bukan masalah. Berjuang habis-habisan itulah makna kepahlawanan yang sesungguh-sungguhnya!”

Jenggo menundukkan kepalanya seperti terlalu berat. Bibirnya bergetar.

”Kenapa anak tunggal ditolak jadi tentara, Pak RT”

Pak RT tak bisa menjawab.

”Apalagi banci!!!?”

Suara Jenggo bergetar perih.

”Banci tidak mungkin jadi pahlawan, Pak RT! Orangtuaku sudah salah kaprah!”

Tiba-tiba Jenggo menarik belati yang disembunyikan di pinggangnya. Pak RT tersirap.

”Wayan, jangan!”

Terlambat. Jenggo sudah mengayunkan belati itu, menikam tangan kirinya. Trak! Mantap betul. Di balik tubuhnya yang lembut itu ternyata tersimpan tenaga lelaki sejati.

Pak RT menjerit dalam hati sambil memejamkan mata. Ia merasakan darah tumpah mengguyur meja.

Ketika Jenggo mengisak Pak RT memaksa matanya terbuka. Belati itu menembus meja, di antara telunjuk dan ibu jari Jenggo. Tidak ada darah.

Pak RT mengusap dada. Waktu Jenggo menarik kembali belati dari meja, seperti hendak mengulang menikam, Pak RT langsung memeluk.

”Jangan, jangan. Bapak mohon, jangan! Jangan!”

Jenggo bersikeras hendak mengulangi tikamannya. Pak RT akhirnya membentak.

”Jangan!!!!”

Suara keras dan tegas Pak RT membuat Jenggo senyap. Pak RT terus menyerang dengan beringas.

”Tidak ada orang berhak memaksa orang lain, anak kandungnya sendiri sekalipun, untuk jadi pahlawan! Siapa bilang kamu bukan pahlawan? Setiap orang adalah pahlawan untuk dirimu sendiri, tahu?!!”

Jenggo menangis.

”Tahu?!!”

Jenggo terisak-isak.

”Jenggo!! Kamu tak perlu jadi pahlawan! Kamu sudah pahlawan, ngerti?!!”

Jenggo mengangkat mukanya. Bibirnya gemetar. Sambil bercucuran air mata ia berbisik.

”Pak RT, tolong bilang pada orangtuaku, aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku tidak mau jadi pahlawan! Biar aku begini saja. Aku sudah cukup!!”

Jenggo menelungkup, seperti memasukkan tangisnya ke meja. Perlahan-lahan dan lembut, Pak RT mengambil belati di tangan Jenggo, lalu mengungsikannya keluar.

”Ada apa, Pak?” sapa Bu RT, menegur suaminya yang pulang membawa belati.

Pak RT tak menjawab. Ia menyimpan belati itu ke kotak berisi beberapa senjata tajam, yang sebelumnya ia lucuti dari beberapa pemuda yang lain.

Subuh esok harinya, ketika keluar rumah hendak menyiram kebun, Pan Jenggo muncul. Ia menyapa Pak RT dengan ramah.

”Pak RT, Wayan sudah bulat tekadnya sekarang. Ia bilang ia sudah meyakini mau jadi pahlawan. Tapi saya pikir-pikir lagi, bukan hanya dia, saya juga harus jadi pahlawan.”

Pan Jenggo mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pak RT menyambut heran. Ia baru melihat Pan Jenggo memakai seragam Go-Jek ketika mendorong motornya ke jalan.

Subuh masih terlalu muda. Langit belum merah, banyak orang masih tidur. Tapi ada suara klatak-klitik di samping. Waktu Pak RT menoleh, tampak Jenggo mulai buka warung. Kehidupan rupanya sudah bergerak.

0 komentar:

Posting Komentar